Sabtu, 27 Agustus 2011

Nikmatnya anak tiriku

Gerakanku berpindah ke leher belakangnya dengan kedua telapak tangan kuurut dari atas menuju ke dua pundak atasnya dengan lembut. Gerakan ini berlangsung 5 menit. Tanpa ada protes dari Mia, suasana hening masing-masing dari kami menikmati apa yang terjadi, yang jelas aku terus mengatur siasat dengan jitu, tapi yang kutahu Mia diam sambil memejamkan mata. Pijitan lembutku sekarang kupindahkan ke bagian punggung belakang Mia. Perlahan kubuka pengait tali BH-nya yang melintang di punggung. Tidak ada reaksi menolak, misi berjalan dengan sempurna.

Kutelusuri kedua telapak tangan ini dari atas sampai ke panggal pinggangnya berulang kali, terkadang dari atas ke bawah. Sedikit demi sedikit posisi telapak tangan kurubah seperti seolah-olah aku sedang memegang sebuah benda bulat dengan kedua jempol tanganku berada di punggungnya, dan keempat jari kanan dan kiriku berada di samping tulang rusuk Mia. Sesekali kusentuh bagian samping buah dadanya secara bergantian antara yang kiri dan yang kanan, terasa masih sangat kencang dan mumbul. Posisi dudukku sekarang sudah agak merendah, tidak lagi tegak seperti tadi. Kuberanikan diri sekarang menyentuh hampir seluruh bagian samping buah dada Mia dengan pelan dan lembut, tidak ada sanggahan, Mia semakin menikmati.

Suasana remang dan hening yang terdengar hanya suara motor fan AC yang sejuk menambah kenikmatan Mia. Kalau diperhatikan oleh yang professional, kegiatan sekarang bukanlah kegiatan mengurut yang keseleo, tapi kegiatan mengelus sebagaimana yang kujanjikan pada Mia tadi. Kegiatan telapak tanganku sekarang sudah mulai berani menyentuh semua bagian samping buah dada Mia yang memang bagian depannya masih tertutup oleh BH yang baru telepas pengait bagian belakang, sedangkan kedua tali yang di pundak masih menempel.

Perlahan kunaikkan keempat ujung jariku ke bagian atas buah dada yang ranum itu, kedua tangganku masuk di antara kedua tangan Mia, dan jari-jariku, kiri dan kanan tidak termasuk jempol, masuk menelusuri bawah tali BH. Mia diam seribu bahasa, tanpa berkomentar dan bersuara, namun satu reaksi yang menggembirakanku yang membuktikan misiku berjalan mulus ialah, posisi duduk Mia tidak bersila lagi, perlahan digerakkan kakinya lurus ke depan dan saling bertindih, itu pertanda Mia sudah mulai terangsang.

Dengan posisi tadi tentu saja ketahanan tubuhnya tidak ada, sehingga secara tidak sadar Mia telah bersandar di dadaku. Untung saja posisiku masih berlutut, sehingga si batang ganas yang sudah mengamuk ini tidak menyentuh punggung Mia yang sedari tadi tidak berbusana. Kepala Mia sekarang bersandar di dada atasku, mata terpejam, bibirnya yang merah tertutup rapat, kedua tanggannya lunglai di samping. Entah apa yang sedang dipikirkannya, apakah menikmati permainan jariku di sekeliling buah dadanya atau tertidur karena kelelahan bertanding basket tadi. Aku tidak perduli semua itu.

Sementara Mia bersandar di dadaku, jariku terus bermain di sekeliling buah dada Mia, sambil kuperhatikan gundukan kemaluan Mia yang masih tertutup celana karet ketat, dan kuberpikir bahwa sebentar lagi aku akan menjilatinya. Bim Sala Bim, kuberanikan sekarang kedua telapak tanganku menelusuri ke dalam penutup BH Mia. Perlahan ujung jariku menyentuh samping puting susu Mia, dan tidak ada masalah, semua berjalan mulus. Dengan lembut kujalankan telapak tanganku menutupi kedua buah dada Mia dari belakang, buah dadanya yang kiri kututupi dengan telapak tanganku yang kiri, dan yang kanan dengan telapak tanganku yang kanan, posisiku seolah-olah sedang memeluk dari belakang.

Jantungku semakin berdebar, hanya baru dapat kubayangkan bahwa besarnya buah dada Mia sebesar telapak tanganku, keras dan menempel tegak karena memang masih tertutup BH-nya. Tidak ada penolakan ,dan aku semakin bergairah, perlahan kutempelkan pipiku di pipinya, lembut kucium pipinya, ujung atas daun telinganya, dan jari telunjukku sekarang sudah mulai bermain dengan kedua putting susu Mia.

Kulihat kakinya makin mengejang, sehingga dapat kupastikan dia tidak tertidur tapi sedang menikmati permainanku. Kulihat juga sekali-sekali Mia menggigit bibir bawahnya nan merah itu. Ingin rasanya aku melumatnya. Tapi nantilah ada masanya. Perlahan tangan kiriku keluar dari sarung BH Mia yang sedari tadi asyik bermain dengan puting susu kiri Mia, sementara jari kiriku masih tetap asyik dengan puting kanan Mia. Tugas tangan kiriku sekarang ialah melorotkan tali BH yang sebelah kiri, dan sekarang telah jatuh ke bawah, tugasnya selesai dan kembali lagi dengan permainan puting susu tadi, tapi tidak lagi masuk melalui bawah ketek Mia, datangnya sekarang dari arah atas.

Bergantian tugas dengan tangan kiri, si tangan kananku juga melakukan tugas yang sama dan kembali lagi dengan kegiatan semula, yaitu bermain dengan puting susu Mia persis seperti yang kiri, yakni dari atas. Lebih leluasa lagi aku bereaksi, dengan lembut kuturunkan semua penutup BH Mia dari atas ke bawah, seolah-olah takut Mia terbangun. Dan setelah BH Mia terlepas dari posisinya, terlihat jelas buah dada yang masih muda, ranum, keras dan menonjol ke depan dengan puting susu yang asyik kumainkan tadi, rupanya kecil berwarna merah dan sangat menggairahkan.

Kuelus-elus lembut sambil kucium leher Mia, dan dia hanya bersuara, "Ahk.., ahk.." sambil mengencangkan lipatan kakinya. Kupindahkan kedua telapak tanganku ke bagian belakang pundak Mia dan kutahan serta kubimbing pelan-pelan Mia untuk berbaring telentang. Kuperhatikan Mia masih terpejam dengan posisi telentang saat ini. Sementara posisiku masih di belakangnya, atau berada di ujung kepalanya.

Indah sekali tubuh ini gumamku dalam hati, dada mumbul, pinggang kecil dan vagina membukit. Tanganku masih bermain di sekeliling buah dada Mia. Kubungkukkan badanku dengan mendekati wajahku ke buah dada Mia, sehingga posisi perutku tepat berada di atas wajah Mia yang sedang memejamkan mata tadi, akau masih mengenakan kimono. Kutempelkan wajah ke buah dada Mia yang kiri dan kanan bergantian. Dan kukecup di antara kedua belah dada Mia, lembut kugerakkan ke arah puting kiri, lidahku menjulur dan berputar-putar, bergantian dengan puting sebelah kanan.

Mia mulai bersuara lagi seperti tadi mengerang nikmat, tapi hanya sekali. Tidak kusangka Mia benar-benar menikmati. Entah obsesi apa yang membuat dia begini, yang pasti aku berhasil menikmati tubuh yang sudah lama kuangan-angankan. Ciuman demi ciuman kulakukan terus di kedua buah dada Mia, rasanya tidak puas-puasnya. Batang kemaluanku sudah menonjol keluar di antara komonoku, keras dan besar, karena posisiku di atas Mia dengan berlawanan arah maka tidak terlihat oleh Mia batang yang sedari tadi mengintip keluar.

Sambil tetap menciumi dada yang mumbul itu, tanganku mulai meluncur ke bagian bawah tubuh Mia, lembut kutempelkan di atas gundukan vagina yang sedang dijepit kedua paha yang berlipat sedari tadi. Sedikit demi sedikit kumiringkan telapak tanganku memasuki jepitan paha Mia. Dia sedikit berontak, tapi diam lagi, ahk.., mungkin kaget kurasa. Terasa jepitan pahanya mulai mengendor, dan perlahan kaki Mia mulai merenggang, dan dengan bantuan kedua tanganku, kulebarkan belahan kakinya.

Kini jari-jariku leluasa bermain di atas gundukan yang masih terbalut celana karet ketat ini. Jari tengah kanan kugosok naik turun di antara belahan vagina Mia. Suaranya sekarang mulai banyak terdengar, sudah tentu suara mengerang, nafasnya juga sudah mulai tidak beraturan, ini dapat kudengar dari hembusan udara yang keluar dari hidungnya menerpa daguku.

Tanganku kutarik ke atas perut Mia, perlahan kedua tanganku masuk ke dalam celananya. Dan sekarang sudah kurasakan bulu-bulu lembut yang tumbuh di atas gundukan tadi. Kuteruskan gerakan tanganku, tapi tidak langsung menuju vagina Mia. Kuarahkan sedikit ke samping di antara kedua pangkal pahanya sambil sedikit-sedikit menyentuh bibir vagina yang masih keras itu. Kupindahkan telapak tanganku menutupi vaginanya, dan kutarik ke atas sedikit, sehingga jari tengah tanganku berada pas di belahan vagina Mia.
Dia tersentak dan berkata, "Pa..,"
Selanjutnya diam, aku terus bermain dengan jariku sambil mencium buah dadanya.

Kesabaranku hilang. Kukeluarkan tanganku dari celana Mia, dan dengan lembut kuturunkan celana berikut CD Mia sekaligus ke bawah, namun baru sampai di posisi dengkul Mia berontak dan menekuk kakinya seraya berkata, "Papa.., Jangan Pa.., Sudah Pa..," pintanya merintih.
Aku tidak menjawab, tanganku masih memegang celana dan CD-nya, tapi gerakanku berhenti, tidak memaksa untuk melepaskan celananya.

Aku tidak kehabisan akal, dengan cepat kupindahkan ciumanku yang dari tadi di buah dada montok dan keras itu menuju ke sela-sela paha Mia. Dengan sangat terlatih lidahku sudah menyentuh klistoris Mia. Dan dia merintih lagi dengan memanggilku.
"Pa.., Mia..," suaranya terhenti entah kenapa, yang pasti merasa nikmat dengan permainan lidahku yang sudah pakar ini, terbukti kakinya yang sedari tadi ditekuk sekarang sudah lurus lagi.
Sambil bermain dengan lidah di bibir vagina Mia, kedua tanganku meneruskan melepas celana dan CD Mia, terlepas sudah.

Kusadari sekarang apa penyebab sapaan Mia barusan tadi terhenti, rupanya kemaluanku sedang menonjol berdiri tepat di atas wajah Mia, yang posisinya telentang di bawahku. Posisi kami sebagaiman yang sering disebut orang dengan posisi 69. Kulihat Mia melototi kejantananku. Aku terus bermain dengan vagina Mia, vaginanya sudah basah dan wangi, dan asin rasanya. Kujilati sepuas-puasnya, dan kuraih tangan kanan Mia, kubimbing menuju ke batang kemaluanku, kutempelkan telapak tangannya, kutuntun untuk memegang, dia menurut saja, tapi hanya memegang dan tidak lama kemudian dilepaskannya.

Kulihat Mia mulai menggerakkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan, didorong-dorong ke atas merapatkan ke bibirku. Dan mendesah, "Eehk.., Ahk.., ahk..,"
Keadaan ini tidak kusia-siakan, aku langsung berpindah posisi sambil melepas kimonoku, berputar searah dengan posisi Mia, dan secepat kilat juga aku sudah berada di atas Mia, namun tidak menindih tubuhnya dengan tubuhku yang besar dan berat ini.

Bagian yang belum kunikmati dari tadi ialah mencicipi bibir yang merah dan mungil kecil ini, dan langsung saja bibirku mengulum bibir Mia. Dia menyambut dengan nafsu, tidak kusangka kudapatkan semua dengan sempurna. Sambil berciuman, aku rapatkan zakarku yang sudah mengeras dari tadi ke bibir vagina yang masih rapat dan kecang itu. Sulit aku menemukan lubang vagina Mia, apa karena masih rapat atau karena beda panjang badan yang mencolok, kalau berdiri tinggi Mia memang setinggi pundakku.

Sambil menekan-nekan posisi badanku, sekarang sudah menekuk, tidak lagi mencium Mia, tapi tidak kusia-siakan yang ada di depanku, yakni kucium buah dadanya lagi. Mia merintih, kali ini rintihannya benar menahan sakit, padahal batangku belum menembus ke dalam, baru kepala batangku berada di bibir luar vagina Mia, tapi dia sudah merintih.
"Papa.., sakit Pa.." rintihnya.
"Aduh Sakit Pa.." ulangnya.
"Ahk.., u.. hk.."
"Papa.. sakit..!" teriaknya.

Aku tersentak karena teriakannya, Mia berteriak sakit, tapi aku belum memasukkan batang kemaluanku sedikit pun, baru hanya menyentuh bagian luarnya. Akhirnya aku berpikir bahwa kalau kupaksakan untuk menusuk semua batang zakarku yang panjang 17 cm, dan berdia meter 5 cm ini, akan berakibat fatal, yakni Mia bisa jadi tidak ikut ke pesta atau datang ke pesta dengan jalan terjingkat-jingkat. Aku putuskan bermain dengan menggesekkan batangku di bibir vagina yang tembam itu. Aku berhenti sejenak, dan bertanya pada Mia.

"Apa kamu merasakan nikmat Nak..?" tanyaku lembut sambil mengelus keningnya.
"Ia Pa.., tapi ada sakitnya.." jawab Mia lugu.
"Kamu pernah seperti ini Sayang..?" tanyaku lagi.
"Belum Pa.., Ciuman aja baru sama Papa tadi ini..." katanya lugu.
"Benar kamu belum pernah ciuman..?"
"Benar Pa.. sumpah..."

Kalau soal di luar ciuman aku percaya dia belum pernah, karena dari tadi sejak aku mulai mengelus buah dadanya sampai menciumi dan bahkan menekan zakarku ke vaginannya, dia kaku tanpa mengibangi, hanya pinggulnya yang bergerak, itu pun dikarenakan naluri kewanitaannya.

Percakapan aku sambung lagi sambil tetap berpelukan tanpa busana dengan posisi aku masih di atas, dan batang besarku tetap kutempelkankan pada vagina Mia. Memang kuraskan mulai agak mengendur.

"Kamu pasti belum puas..?" kataku.
"Maksud Papa puas itu seperti apa..?" tanyanya lugu.
"Puas itu ialah mencapai kelimaks, yang tandanya Mia merasakan seolah-olah kayak pipis, tapi tidak pipis, dan setelah itu badan Mia terasa lemas." jelasku.
"Ah.., Mia enggak ngerti ah Pa.." dia kelihatan binggung.
"Tapi Mia maukan mencoba dan merasakannya..?" tanyaku merayu.
"Emm.., mau sih Pa.., tapi tidak pakai sakit Pa.." jawabnya manja.
"Boleh deh.." jawabku singkat.
"Janji ya Pa..!" pintanya manja.
"Janji.." kataku.
"Sekarang Mia peluk Papa dan cium bibir Papa sperti tadi.."

Tanpa malu-malu lagi Mia memeluk dan menciumku dari arah bawah. Aku pun segera menyambut ciumannya dengan menjulurkan lidahku masuk ke dalam mulutnya, Mia pun langsung bermain dengan lidahnya. Sedangkan bagian bawah mulai kutempelkan, dan aku gerakkan ke kiri dan ke kanan. Naik dan turun, sehingga sedikit demi sedikit kemaluanku mulai membesar lagi. Dan sekarang sudah mengeras seperti tadi, tetap kutempelkan di vagina Mia, naik dan turun kugesekkan pada bibir tumpukan daging yang tembab itu.

Ciuman bibir kami berhenti, karena Mia sekarang lebih banyak bersuara.
"Pa.., ahk, Pa..,"
"Enak Sayang..?"
"Ia Pa."
"Sakit Sayang..?""Tidak.. ahk..! Au..,"
"Sakit Sayang..?"
"Ahk.., i.. au.. ahkkk..!"
Kuteruskan gerakanku naik dan turun sambil menekan batang kemaluanku yang sudah mengeras. Dan pelukan Mia semakin erat kurasakan.

"Apa rasanya Sayang.., enak Nak..?" tanyaku manja.
"Enggak tau Pa.., Mia rasanya mau pipis Pa.. ahk..!"
"Pa... a.., Mia mau pipis Pa..,"
"Ah.. uhk.., ahhkk.. ahhhkkk.., Papa.., Mia.. Pa.. Mia mau.. Pa.., Mau pi.."
Kuhentikan gerakanku dan kurenggangkan zakarku dari vaginanya. Dan aku merosot ke bawah menuju selangkangan Mia untuk menciumi vagina yang merah jambu ini, sambil meraih dua remote untuk menyalakan TV dan VCD, yang sudah kupersiapkan, bila misi urut mengurut gagal, maka akan kualihkan dengan misi nonton VCD Porno. Tapi VCD ini akan bermanfaat untuk Mia berlajar saat aku memintanya nanti mengulum batang ajaib ini.

"Sekarang Mia pipis sepuasnya sambil Papa cium dan Mia juga sambil nonton ya..!"
"Ia Pa.."
Aku mulai mencium bagian yang sangat sensitive, Mia mengerang dan bergerak.
"Au.., Ahhk.., ahhhkk.., Enak Pa.., he.. ahhk.., Pa terus yang itu Pa... Enak yang di situ ahhkkk.., Pa.. Mia sudah.. ahhkk.. aaakkk..
"Papa.., Mia pipis ya.., ahhkkk..,"
Aku mengangguk sambil mempercepat lumatan lidahku di vaginanya, dan tidak lupa meremas-remas buah dada yang sekal itu.

"Pa.., Mia.., Pa.. pi.. aaa.. hhh.. akkk ahhhhkkk.., Mia iii... Papa udah Pa.. ahhkkk, Mia udah pipis Pa.., uhhh..!"Benar dia sudah dapat dan mencapai orgasmenya, aku merasakan hangat di bibirku, dan badan Mia sekarang melemas sambil melipat kedua kakinya. Aku langsung naik ke atas dan berbaring di samping sisi kanan Mia. Aku cium pipinya dan kupeluk badannya yang sedang tidur telentang.Kuelus lembut buah dadanya, dia diam dan telentang tidak merasakan malu seperti tadi. Sementara batang kemaluanku masih mengeras.

TV masih menyala dengan gambar adengan porno seorang wanita bule sedang mengulum batang kemaluan pria bule. Kulihat Mia memperhatikan adengan yang ada di TV, kubimbing tangan kanan Mia menyentuh zakarku yang mengeras. Dia tidak menolak, bahkan sekarang menggenggamnya dengan keras, dan sebentar-sebentar digerakkan, aku sadar dia belum mengerti apa maksudku, sehingga kubiarkan berjalan apa adanya.

Setelah beberapa menit saling diam, sementara Mia merasakan nikmatnya pipis yang dia maksud dengan sambil menonton TV, aku juga terus memandangi tubuh yang indah ini, aku pun berkata memecahkan kesunyian.
"Sekarang kita mandi Sayang.., nanti kita terlambat ke rumah Oma.."
Dia kaget dan langsung melihat dan memelukku, dan berkata, "Terima kasih Pa.."
Aku tersenyum dan langsung menggendong tubuh mungil ini ke kamar mandi.

"Kita mandi bareng ya.., biar rapihnya cepat.." kupeluk Mia dalam gendonganku sambil kucium bibirnya, dia membalas dengan mesra.
"Lagi pula Mia kan tugasnnya belum selesai.." sambutku lagi.
"Tugas apa Pa..?" Mia bertanya sambil mengerutkan kening, dan memang dia benar-benar tidak tahu.

Sesampainya di kamar mandi, kuturunkan Mia dari gendonganku dan masih berhadapan denganku. Kukulum lagi bibirnya, dia berusaha melepas dan bertanya.
"Tugas apa Pa..?" tanyanya penasaran.
"Papa kan belum pipis seperti Mia, jadi tugas Mia bikin pipis Papa.."

Kubungkukkan badanku untuk mencium bibirnya lagi, belum puas rasanya aku menciumi semua badannya, untuk itu aku ajak dia mandi bareng.
Dia lepaskan lagi ciumanku dan bertanya, "Caranya bagaimana Pa.., apa seperti yang di film tadi..?" tanyanya lugu.
Aku tidak menjawab dengan jelas, sambil berkata aku langsung mencium bibir Mia lagi.

"Pokoknya Mia pasti bisa bikin Papa pipis.., Mia ikuti aja apa yang Papa suruh..!" tegasku.
"Tapi tidak sakit kan Pa..?" tanyanya.
"Ya.., tidak Sayang.." jawabku.

Dan langsung saja kuciumi bibirnya, sangat kunikmati, kepeluk dan kujilati lehernya sambil berdiri dan berpelukan. Kuangkat badannya dan kududukkan Mia ke atas Meja westafel yang berada di belakangnya. Kucium dengan leluasa buah dadanya di bawah sinar lampu kamar mandi yang terang menderang. Puas dengan bermain di buah dadanya dan memperhatikan dengan jelas, ciumanku pindah ke bawah perlahan, dan menuju ke arah sela-sela paha.

Bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar tumpukan daging nikmat itu kujilati dengan mesra, sesekali menyentuh bagian bibir vagina Mia, sengaja kubasahi bulunya agar tidak menutupi bagian yang sangat indah ini. Kuangkat kedua kaki Mia ke atas meja westafel yang sedang dia duduki, sehingga posisinya duduk mengangkang dengan kaki menekuk. Sekarang terlihat jelas bagian dalam vagina yang muda ini, berwarna merah, cantik, masih asli dan belum melar. Kujurkan lidahku menjilati sampai ke bagian dalam, kulihat Mia menikmatinya.

"Ahhhkk Pa.., udah Pa.., Mia kan tadi udah dapat pipisnya Pa.."
"Ia sayang, Papa hanya cium aja, Papa tidak bikin Mia pipis lagi.."
Kuhentikan ciumanku pada vagina Mia, karena kurasakan sudah cukup puas, dan aku pun merasa sudah tidak kuat lagi menahan desakan air maniku yang sedari tadi sudah mau keluar. Aku angkat turun Mia dan kucium bibirnya, dia membalas dengan mesra pula. Kupeluk rapat badannya dan sambil berputar, dimana aku yang membelakangi westafel. Kubimbing kepalanya ke bawah dan kudekatkan batang kemaluanku ke bibirnya.

"Mia.., Sekarang Mia bikin pipis Papa ya Nak..?"
Dia duduk berlutut bingung sambil memandangiku ke atas, aku tahu apa artinya itu.
"Mia ciumi itu seperti yang Mia lihat di film tadi."
"Mia isap-isap seperti Mia minum es krim.."

Tanpa berkomentar Mia pun bereaksi, awalnya memang aneh, hanya pada bagian ujung batang kemaluanku saja yang di kecup. Kubiarkan apa saja yang dia lakukan. Perlahan kurasakan dia mulai memegangi batang kemaluanku dengan kedua tangannya. Bibirnya pun mulai terbuka lebar, dan pelan masih gerakannya, tapi sudah mulai kurasakan setengah dari batangku masuk ke mulutnya.

Tidak begitu lama aku sudah merasakan kemahiran Mia seperti yang kurasakan kalau Mamanya bertugas seperti ini. Kupeganggi rambunya dan kepalanya lembut sambil menggerakkan maju mundur.

"Iya.., Sayang.., Papa hampir pipis Nak.."
"Terus..! Yang kencang Sayang... Ah.. enaknya Nak.. Mia.., aduh Sayang.., enak Nak..!"
"Pintar kamu manja.."
Terus kugerakkan kepalanya maju mundur.
"Sayang terus Sayang.., jangan berhenti..! Papa hampir.., ahhhkkk."
"Kalau Papa mau pipis Mia langsung berdiri ke samping Papa ya.. ahhmm..!""Terus Nakkk, auuu ya.., Terus cium Nak..! Sambil dihisap Nak.."
"Ya, gitu.. Ya... Ahh.., kkkk..,"
"Sudah Mi.., kesini..!"

Kutarik Mia ke samping dan kupegang tangan kanannya tetap memegang batang yang keras ini dan ajarkan untuk mengocok, ternyata dia cepat mahir, sehingga kulepas tangganku, dan dia terus menocok barangku. Kupeluk dia dari arah samping yang memang sudah berdiri di sisi kananku. Badannya agak sedikit membungkuk, karena tangan kanannya sedang mengocok barangku.
"Terus Sayang, yang cepat lagi, ahhkkk, diremas lagi Nak..!"
"Ya.. Papa dapat sekarang sayang, terus Nak.., jangan berhenti sampai Papa berhenti pipisnya, ahhkkk."

Lunglai sudah badanku lemas rasanya, kupeluk Mia dengan mesra, dan sambil kuperhatikan semburan air maniku yang mencapai satu meter itu. Pelan zakarku mengecil. Selanjunya kami pun mandi bersama saling menggosok badan tanpa ada rasa malu lagi. Mia pun tidak merasakan keseleonya yang tadi dia derita.

Selesai mandi kami pun bersalin di kamar masing-masing. Selesai berdandan aku dan Mia berangkat menuju ke rumah Omanya. Dalam perjalanan aku berpesan bahwa kejadian tadi jangan diceritakan pada siapa pun, dan kalau tidak Mia akan tidak pernah dapat pipis yang enak lagi ancamku. Dia tersenyum seolah-olah setuju.

Di pesta suasana kami berdua berjalan biasa, begitu juga sehari-hari, karena memang Mia sehari-harinya manja denganku.

Budhe Is guruku

Aku masih ingat, waktu itu masih klas 4 SD. Jadi aku dan kawan-kawan sama sama berkhitan. Takut juga aku. Setelah berkhitan, luka kemaluanku dirawat. Seminggu, luka kemaluanku masih belum sembuh. Tiap hari harus dibersihkan lukanya. Untunglah ada Bude Is, adik Ibuku, membantu membersihkan luka kemaluanku. Malu juga aku rasanya. Tahu sendirilah, menunjukkan kemaluanku, kan?
"Nggak apa-apalah, sebab Andi masih anak-anak. Baru berumur 10 tahun." kata Bude Is.

Bude Is berumur 32 tahun. Setiap pagi dia menolong mencucikan luka bekas khitananku, memberi obat dan membalutnya dengan perban. Kata Ibuku, aku tidak boleh malu. Dia Budeku sendiri. Aku ini badannya saja yang besar. Seperti murid yang berumur lebih dari 12 tahun saja. Aku suka sekali main bola kaki. Jadi, badanku kuat dan kekar. Bude Is bekerja di Kantor kelurahan di kota Pekanbaru.

Aku tahu bahwa Budeku ini baru saja diceraikan oleh suaminya. Rupanya, suaminya sudah kawin sebelum kawin dengan dia. Dia tidak mau dimadu katanya. Jadi dia minta cerai setelah perkawinan berjalan baru 6 bulan. Kasihan juga dia. Dulu dia datang ke rumah dengan berderai airmata. Ibu dan Bapak kasihan juga melihatnya. Karena rumah kami kecil, tidak ada lagi kamar kosong, jadi Ibu menyuruhku tidur sekamar dengan Bude Is. Jadi tidak menjadi masalah bagiku, karena dia Budeku sendiri. Lagi pula aku anak saudaranya, dan masih anak-anak lagi. Badanku saja yang besar, tapi umurku masih kecil. Belum tahu apa-apa.

Bude Is pun dapat mengajariku pelajaran Matematik. Sekarang aku sudah tidak suka menonton TV lagi. Bila hari sudah malam setelah makan, aku langsung masuk kamar untuk membaca buku. Ibu menyuruhku belajar, dan Bude Is mengajarkan jika aku mendapat kesulitan di dalam pelajaranku. Ibu suka aku belajar dengan Bude Is. Dulu Bude Is hendak menjadi guru, tapi dia lebih suka menjadi pegawai pemerintahan.

Bude Is memang agak cantik. Sekali lihat seperti Krisdayanti. Tinggi semampai, bidang dadanya luas, pantatnya lebar. Padat. Dadanya montok dan berisi. Suaranya lembut dan pandai membujuk dan memanjakan. Dulu dia orang paling cantik di kantornya. Setelah itu ada pemborong konstruksi/bangunan yang senang sama dia. Itu sebabnya dia mau kawin. Tapi setelah kawin baru diketahui bahwa orang tersebut sudah kawin dan mempunyai anak. Bude Is tidak suka ditipu dan dimadu, dan minta cerai.

Bude Is bila tidur, dia suka memeluk guling dan mengempitkanya di sela pahanya. Kadang-kadang aku melihat kainnya tersibak, sehingga kelihatan pahanya yang putih mulus. Aku tidak ambil pusing karena dia Budeku sendiri. Memang kulitnya putih mulus. Tidak seperti Ibuku, kulitnya coklat. Bapak Budeku adalah keturunan Cina. Nenekku keturunan Melayu. Nenek kawin setelah ayah Budeku meninggal, setelah itu Ibuku lahir. Jadi Bude Is lebih tua 3 tahun dari Ibuku.

Setelah 3 minggu, luka kemaluanku sudah baikan. Libur sekolahku pun sudah berakhir. Aku harus ke sekolah lagi. Tiap pagi Bude Is membangunkanku. Dia selalu lebih pagi. Pagi-pagi dia selalu memandikanku. Dia menyabuni badanku, menggosok daki di badanku. Kami pun mandi sama-sama. Sebab aku anak-anak dan masih kecil, jadi aku mandinya telanjang saja. Bude Is berkemben saja jika mandi. Dia pakai kain basah yang sudah lusuh. Kain itu diikat dari atas dada sampai ke pangkal paha atas lutut. Putih mulus kulit pahanya.

Setelah selesai mandi, dia menolongku mengenakan pakaian sekolah. Habis itu dia pun mengenakan bajunya dengan ditutupi pintu lemari yang ada kaca cerminnya. Mula-mula dia tanggalkan handuk yang melilit tubuhnya dari kamar mandi, dan menggantikanya dengan pakaian kerjanya. Setelah itu dia memakai celana dalamnya. Aku tidak dapat melihatnya. Lama-lama aku sudah lupa untuk melihat badannya. Aku tahu, dia bertelanjang bulat di belakang pintu lemari kaca itu. Kadang-kadang aku berkhayal juga, gimana bentuk tubuhnya bila Bude Is tidak memakai pakaian. Tentu sangat seksi sekali tubuhnya.

Malam itu aku tidur lebih awal. Menjelang tengah malam cuaca agak panas. Memang di kamarku tidak ada kipas angin, apalagi yang namanya AC. Lagi pula cuaca waktu itu musim panas. Maka malam-malam pun terasa panas. Aku dengar Bude Is gelisah. Panas. Setelah itu dia bangun. Aku pura-pura tidur. Mata kututup rapat-rapat. Kuintip, dia lagi membuka bajunya. Setelah itu dia buka celana dan celana dalamnya. Dia letakkan di sudut kamar. Kemudian dia berkemben menggunakan sarung. Dia naik ke tempat tidur dan tidur di sebelahku.

Kali ini dia tidur dengan gaya yang lain. Dia tidur menyonsang. Kepalanya ke ujung kakiku, dan kakiku dekat wajahnya. Bila udara sudah agak dingin, barulah rasa kantuk datang. Hampir saja aku tertidur lelap, tiba-tiba aku rasakan pantatku kena peluk. Aku terjaga. Rupanya Bude Is memeluk pantatku. Dia tidak sadar. Setelah itu kepalaku terasa kena jepit oleh pahanya. Dia kira aku ini bantal guling agaknya. Bantal guling ada di belakang dia. Boleh jadi dia benar-benar tidak sadar.

Cahaya lampu di beranda luar masuk dari ventilasi ke dalam kamar tidur, sehingga aku dapat melihat paha mulus Bude IS. Putih semua. Aku mau memejamkan mata kembali. Tetapi kalau aku mulai tertidur, Bude Is mulai gelisah. Dia merapatkan kepalaku di bawah perutnya. Mmhh..! Ada bau yang masih asing bagiku, sepertinya berasal dari pangkal pahanya Bude Is. Belum pernah aku mencium bau seperti itu. Seperti wangi sabun mandi bercampur dengan sedikit pesing. Makin lama baunya makin makin mengusikku. Bila aku gerakkan kepala, maka dia makin kuat menjepit. Bagiku, bau itu masih asing. Akhirnya aku tertidur sampai pagi.

Besok pagi dia membangunkanku. Seperti biasa, kami mandi sama-sama lagi. Seperti tidak ada kejadian apa-apa. Dia berbuat seperti biasanya. Dia mandikan aku. Dia gosok kemaluanku.
"Sudah sembuh lukanya," kata Bude Is, "Nggak usah diberi obat lagilah." katanya.
Dipencetnya ujung kemaluanku. Dia tanya, "Sakit nggak..?"
Aku geleng kepala, "Nggak." kataku.
Dia pun tersenyum melihatku.

"Andi, kalau mandi harus disabuni setiap hari seperti ini." katanya.
Diambilnya sabun, digosok ke tapak tangannya, dan langsung diusapkannya ke batang kemaluanku. Sekali dua kali, tidak apa-apa, ketika dia gosok berulangkali aku merasakan kenikmatan. Kemaluanku menjadi tegang dan terasa mau kencing.
Aku bilang ke Bude, "Nanti dulu Bude, Andi mau kencing."
Dia pegang batangnya dan mengarahkannya. Dan aku pun kencing. Setelah itu dia cuci. Tidak ada sedikit pun berprasangka yang lainnya, karena aku masih kecil.

Selesai dia memandikan aku, dia pula sekarang yang mandi. Dia gosok badannya, ketiaknya, payudaranya dan celah pahanya dengan sabun. Sampai berbusa badannya karena sabun. Baru aku tahu bagaimana bentuk payudara perempuan. Aku pernah melihat payudara Ibuku waktu menyusui adik, tapi lembek saja. Payudara Bude Is beda. Bagus dan putih. Padat. Kelihatan waktu dia menggosok payudara dan di sela-sela bawah payudaranya. Aku lihat ketiaknya ada bulu sedikit. Tapi kadang-kadang kain basahnya terangkat waktu dia menggosok payudaranya.

Aku lihat ke bawah perutnya ada bulu. Banyak dan lebat. Dipandanginya wajahku. Aku melihat ke arah lain, berpura-pura tidak melihat ke bawah perutnya. Dia tersenyum. Aku pun tersenyum. Bude Is tidak marah. Aku tidak mau melihat lama-lama. Aku malu untuk melihat. Karena aku masih kecil. Lagi pula aku merasakan suatu kenikmatan yang lain rasanya. Dia siram badannya. Kemudian dia berjongkok. Diangkatnya kain basahannya sampai-sampai nampak pantatnya. Uuhh putihnya. Dia buang air kecil membelakangiku. Berdesir bunyinya. Aku tidak perduli, karena memang selalu begitu.

Lalu aku tanya, "Apa sebabnya perempuan kalau buang air kecil bunyinya lain?"
Bude menjawab, "Besok Bude tunjukkan apa sebabnya."
Aku tanya, "Kapan?"
Dia jawab, "Nantilah."
Bila aku mendengar dia kencing hari itu, aku merasa perasaanku menjadi lain. Habis itu dia cebok dan berdiri. Kami masuk ke kamar. Dia pakaikan baju dan celanaku. Setelah itu dia berpakaian. Seperti itulah tiap hari.

Malam ini, sekali lagi cuaca panas. Bude Is terbangun. Dia buka baju lagi, dan menggantikan dengan sarung. Ketika tidur, dia pun menjepit kepalaku seperti malam kemarin. Aroma itu kembali mengusikku. Tapi agak lain dari malam kemarin. Ketika dia memeluk pinggulku, aku merasakan kemaluanku menyentuh mulutnya. Kemudian aku merasakan ujung kemaluanku seperti dijilat. Geli sekali rasanya. Kukepitkan pahaku untuk melindungi kemaluanku. Tapi tidak bisa karena kepala Bude Is menghalangi pahaku. Lama-lama aku biarkan saja.

Aku rasa mula-mula dia menjilat kepala kemaluanku, setelah itu ada rasa sepertinya kepala kemaluanku masuk ke dalam mulutnya. Aku rasakan lidahnya menjilat dan menguit-nguit kepala kemaluanku di dalam mulutnya. Uhh.., gelinya, bukan main lagi. Aku rasa kemaluanku, aku menjadi tegang. Aku mengerang menahan geli. Aku mendengar suara berdecap-decap sepertinya sedang menghisap ujung kemaluanku, ada suara "Crup.., cerupp.."
Bude Is menyedot kepala kemaluanku beserta air liurnya. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, kutahan saja. Aku merasakan hendak kencing.

Lama juga Bude Is berbuat seperti itu, tapi kutahan, sebab terlalu geli. Pantatku bergoyang gelisah. Tapi Bude Is memeluk pantatku kuat-kuat. Aku tidak dapat bergerak. Terpaksalah aku biarkan saja. Ketika aku sudah tidak tahan lagi, aku kencing dalam mulutnya. Banyak sekali. Aku rasakan nikmat sekali kencing di dalam mulut Bude Is. Waktu kencing, kurasakan seperti dalam khayalan saja rasanya. Kututup mataku. Dalam gelap itu, aku tidak melihat apa-apa.

Saat itu juga aroma dari pangkal paha Bude Is bertambah kuat. Rasanya ingin aku untuk mendekatkan hidungku ke sumber aroma tersebut. Habis itu badanku terasa letih. Lama-lama aku tertidur sampai pagi. Esok paginya dia bangunkan aku. Seperti biasa, kami mandi bersama-sama lagi. Apa yang terjadi tadi malam, seakan kami tidak ingat saja. Bertingkah seperti biasa.

Seperti biasa, Bude memandikan aku. Kemaluanku dibersihkan dan digosok.
Aku tanya sama Bude, "Kenapa tadi malam aku kencing tapi rasanya lain sekali, Bude?"
Dia jawab, "Itu tanda kau sudah besar."
Dipencetnya ujung kemaluanku. Dia tanya, "Sakit nggak..?"
Aku menggeleng kepala, "Nggak." kataku.
Dia pun tersenyum padaku, katanya, "Lain kali Bude ajarkan bagaiman caranya Andi bisa kencing enak.."
Aku menganggukkan kepala.

Seperti itulah setiap malam. Aku tidak ceritakan kepada siapa pun. Karena dia Budeku sendiri. Dia sangat sayang padaku. Lagi pula dia seperti guruku sendiri. Pada hari Sabtu awal bulan, Bapak dan Ibuku hendak pulang ke kampung dengan adik yang belum sekolah.
Ibu berkata padaku, "Ibu dan Bapak bersama adik mau ke kampung. Satu minggu lamanya. Karena Andi sekolah, maka Andi sama Bude aja di rumah. Lagi pula Bude Is kan kerja. Dia tidak cuti."
Aku jawab, "Nggak apa-apalah. Lagipula Bude Is ada menemani."

Sore itu Bude Is mengajakku nonton film bioskop. Dia baru gajian. Setelah itu kami makan sate dan jalan-jalan. Dibelikannya aku baju dan celana dalam. Sedangkan Bude membeli BH warna merah kusam dengan celana dalam warna hijau pucat dan body-lotion juga sabun mandi cair wangi. Parfum satu botol. Kemudian setelah sore kami pulang. Sekalian dia beli kipas angin merk Sharp. Hari memang panas.

Sesampai di rumah, Bude Is menyiapkan makanan. Kami makan sama-sama. Setelah makan, Bude Is mau mandi. Aku pun juga mau mandi, sebab badanku berkeringat habis jalan-jalan. Lengket rasanya. Kami masuk kamar mandi. Seperti biasa aku buka baju, disiram dan disabuni badanku. Kali ini dia pakai sabun cair yang dibeli tadi. Dia pun menyiram badannya dan bersabun juga. Busanya banyak sekali. Dia suruh aku duduk mencangkung di tepi bak air dalam kamar mandi. Kemudian dia tuang sabun cair itu ke telapak tangannya. Digosoknya semua badanku. Wangi sekali aroma sabunnya. Banyak busanya. Selangkangku juga Bude bersihkan dengan menggosok sabun yang di tangannya, aku merasa geli.

"Kalau Andi geli, tutup saja matanya, ya..!" kata Bude dengan suaranya yang lembut.
Aku menutup mata. Aku rasakan batang kemaluanku tegang. Lain rasanya. Tidak seperti biasanya, karena dia sudah biasa mengobati kemaluanku setelah berkhitan dulu. Waktu dia menggosok batang kemaluanku, aku rasa enak sekali. Geli. Badanku lemah, lututku menggigil seakan mau terduduk. Karena takut jatuh, aku pegang kain kemben di tubuh Bude. Entah bagaimana kainnya terlucuti. Copot. Melorot sampai ke pusarnya.

Dia bilang, "Nggak apa. Biarkan.. Bude pun mau menyabuni badan juga."
Bude biarkan badan atasnya terbuka. Dia hanya mengikat kain basahannya di bawah perutnya. Di bawah pusarnya. Perutnya kelihatan. Ikatannya longgar saja. Kelihatan pusar dan payudaranya. Berayun-ayun dan bergoyang-goyang di depan mataku. Aku nikmati pemandangan itu. Sebab betul-betul terpampang di depanku. Alamak, besar juga payudara Bude Is. Sshh..! Seperti buah semangka besarnya.

Di tengah-tengahnya ada puting sebesar jari kelingking. Di sekelilingnya ada lingkaran sebesar duit coin seratus besar, ketika aku lirik ke atas perutnya yang putih. Warnanya coklat. Kontras dengan warna kulit Bude Is yang memang putih mulus. Jadi jelas sekali beda antara coklat sekeliling putingnya dengan kulit payudaranya yang putih. Sshh.., geram aku dibuatnya. Belum pernah aku melihat payudara wanita sejelas di depan mataku seperti saat ini. Ibuku waktu menyusui adik pun, selalu ditutup dengan selendangnya atau Ibu pergi ke kamar menyusukan adik, tetapi kali ini justru Bude mempertontonkannya padaku.
Tengah aku berkata dalam hati, Bude Is mengambil sabun cair lalu dituangkan ke tanganku.
"Untuk apa Bude?" tanyaku.
Bude menyuruhku menggosok badannya, menggosok payudaranya. Kemudian disuruh menggosok perutnya, pusarnya. Terus balik ke payudaranya, sampai ke ketiak-ketiaknya. Kulihat ketiak Bude ada bulu. Bulunya sedikit dan halus. Sementara itu, dia terus menggosok paha dan kemaluanku. Aku rasa geli-geli enak. Sshh.., desisku menahan rasa nikmat dan geli.

Kain basahan mandinya dibuka sekarang. Tanggal semua. Tenggorokanku terasa kering tiba-tiba. Aku menelan ludah. Sshh.., geramku. Aku belum pernah melihat perempuan telanjang di depanku. Adikku pun belum pernah melihatku lihat telanjang. Bude menyuruhku menggosok bawah pusarnya. Awalnya aku rasa tidak mau. Malu aku rasanya. Aku tatap wajahnya.
Bude berkata, "Gosoklah di bawah perut Bude. Nggak apa-apa. Bude nggak marah kok."
Aku pun menggosok kemaluan Bude. Tapi aku tidak lihat di situ. Malu aku.

Aku tidak melihat apa pun. Tanganku gemetaran ketika aku mulai meraba kemaluannya. Rasanya kemaluannya agak kesat. Aku rasa itu bulu kemaluannya. Bude Is merapatkan dadanya ke wajahku. Wajahku menempel di antara dua payudaranya. Puting payudaranya berwarna merah kehitaman. Aku tidak berani lihat ke bawah, aku malu melihat kemaluannya. Aku tahu ada banyak bulu disana. Ihh.., geram aku. Lagi pula aku takut Bude marah. Bude menggosok aku, aku pun menggosok dia.

Bude menyuruhku meremas-remas payudaranya. Rasanya kenyal-kenyal empuk. Kulihat Bude Is memejamkan mata. Dadanya bergemuruh berdegup kencang seperti orang habis berlari kencang. Kemaluanku makin kuat dipegangnya. Bude menyorong tarik batang kemaluanku. Ketika aku menggosok kemaluannya, dan meremas payudaranya, menghisap puting payudaranya, kurasakan kenikmatan tersendiri. Kenyal dan lembut terasa di mulutku. Aku ikuti apa yang disuruh Bude.

Tidak lama setelah itu, Bude menarik tanganku dan meletakkannya ke bawah perutnya. Bude menyuruhku memainkan daging sebesar kacang tanah. Bude menyuruhku menguit-guit. Aku pun mengnarik-narik daging kecil yang sudah agak keras itu. Tapi aku belum juga berani melihat ke bawah.
Bude bilang, "Kalau nggak mau melihat, aku boleh tutup mata."

Aku memainkan daging kecil itu dengan tangan kiri. Disodorkanya payudaranya ke mulutku dan disuruhnya menghisap putingnya. Sedangkan tangan kananku dibawanya meremas payudaranya yang di sebelah kanan. Aku hanya mengikuti. Bude pun meneruskan mengurut-urut dan mengocok-ngocok kemaluanku. Lama juga kami melakukan itu. Terasa nikmat bagiku.

Tiba-tiba aku mendengar Bude Is menarik nafas dalam-dalam. Panjang sekali. Dia memeluk tubuhku. Ditekannya payudaranya ke tubuhku. Aku lemas karena didekap kuat. Badannya tegang mengeras, seperti orang ngejan.
Dia melenguh seperti orang sakit kepala, "Uhh.. sstt..!" mulutnya mendesis seperti orang menahan rasa perihnya luka.
Disuruhnya aku menggosok daging kemaluannya lebih cepat. Aku pun lebih cepat memaikan dan menggosoknya.

Aku mengangkat wajahku. Tapi ditekannya lagi ke dadanya lebih kuat. Digosok-gosokannya wajahku di payudaranya. Aku rasa aku seperti mau lemas. Aku pun menghisap kuat puting payudaranya. Tanganku sebelah lagi terus meremas payudaranya. Tidak lama setelah itu aku mendengar Bude Is mengerang, seperti orang yang telah lega. Letih nampaknya.

Lalu dia mandi menyiramkan air ke tubuh indahnya. Kain untuk penutup badan yang tergeletak di lantai dibilas dan digantung di kamar mandi. Dia keluar memakai Handuk. Dia masuk duluan ke dalam kamar. Berkemben handuk saja. Aku masih di kamar mandi menyiram badan menghilangkan busa sabun. Kemaluanku tegang dan merah karena digosok Bude Is tadi. Setelah mandi terus melap badan dan masuk ke dalam kamar untuk mengenakan baju baru yang dibelikan Bude tadi.

Ketika aku masuk dalam kamar, kulihat Bude Is bersandar di dinding tempat tidur. Dia masih memakai handuk. Matanya terpejam. Seperti orang letih saja. Diam. Aku merasa takut juga. Boleh jadi perbuatanku tadi membuat Bude Is tidak suka.
"Marahkah Dia..?" tanyaku dalam hati.
Aku pun naik ke atas tempat tidur, duduk dekatnya.
Kutanya, "Bude marah ya..?"
Matanya membuka memandangiku. Dia tersenyum. Rambutnya wangi.
"Nggak." katanya.

Dirangkulnya aku menempel ke tubuhnya. Wajahku dekat ke lehernya. Diusapnya punggungku, seperti berbagi rasa sayang padaku. Hatiku sangat senang sekali.
Bude Is bilang, "Luka Andi sudah baik..?"
Aku mengangguk dan balik bertanya, "Tadi kenapa Bude seperti orang sakit?"
"Apa Bude sakit..?"
Dia menggelengkan kepala, katanya, "Kalau tidak ada orang membantu Bude seperti Andi perbuat tadi, kepala Bude terasa sakit. Badan Bude terasa lemas." katanya.

"Bolehkah Andi menolong Bude?" kutanya.
Lalu dia menjawab, "Entahlah. Kalau Andi nggak cerita sama orang lain, Andi boleh nolong Bude untuk nyembuhkan sakit kepala Bude." katanya.
Kujawab, "Andi sumpah nggak cerita pada siapa pun Bude. Andi sumpah. Betul..!"
"Benar ya Ndi..?" Bude menatap wajahku.
Dia tersenyum seperti tidak percaya. Aku sangat kasihan melihat Bude. Aku mengangguk.

Kemudian dia berkata, "Bude mau minta tolong sama Andi untuk mijitin badan Bude, boleh nggak? Capek jalan-jalan tadi," katanya.
Aku mengangguk. Bude Is pun memposisikan badannya untuk telentang. Di punggungnya diletakkan bantal. Disuruhnya aku mengambil minyak yang dibeli tadi di pinggir ranjang dan duduk di sebelah kanannya. Dituangkannya di telapak tangannya. Aromanya wangi. Dia menyuruhku untuk menyingkap handuk di dadanya. Kubuka, terpampang payudaranya seperti gunung. Putingnya merah coklat.

Dia menyuruhku memijat seperti di dalam kamar mandi tadi. Aku lakukan. Dia menyuruhku meremas-remas dan memainkan putingnya. Lama-kelamaan putingnya menjadi keras. Mata Bude Is terpejam seperti orang tidur. Lama aku berbuat begitu. Aku hanya diam saja memperhatikan mimik wajah Bude. Kemudian dia menyibakkan handukku. Dipegang-pegang dan diremas-remasnya kemaluanku, kemudian diurut-urutnya. Aku merasa nikmat. Aku merasakan kemaluanku tegang. Minyak itu melicinkan kemaluanku. Aku merasa kemaluanku makin tegang dan makin panjang. Kepalanya tersa mengembang.

Kemudian dia menyuruhku mengelus perutnya. Perutnya agak gemuk. Ouuh.., lembut dan kenyal. Dia menyuruhku memutar-mutar jari telunjuk kananku di pusarnya. Sedangkan tangan kiri meremas-remas payudaranya. Kadang aku putar-putar puting payudaranya. Aku melakukannya agar Bude Is sembuh dari sakit kepalanya. Lagian dia baik hati. Kami pun tinggal berdua saja. Kalau dia sakit, pada siapa kuminta tolong antar ke rumah sakit. Semua itu menjadi pikiran bagiku.

Setelah itu Bude Is menyuruhku membuka handuknya lagi.
"Andi tolong urut paha Bude, yaa..!" lembut suaranya.
Waktu aku menyibakkan handuknya, aku melihat bulu hitam kemaluan Bude Is. Uhh.., geramku. Tidak pernah aku melihat bulu kemaluan perempuan sebelumnya.

Aku melihat wajahnya. Dia melihat wajahku.
"Andi, pijitin paha Bude, ya..?"
Lalu dia meneteskan minyak dalam botol tadi ke tanganku. Aku melihat paha Bude putih dan mulus, bagus sekali. Betisnya padat, licin dan putih, seperti kapas. Aku pura-pura tidak meliat bulu kemaluannya. Lebat. Hitam. Banyak di bawah perutnya, seperti jambang. Kuraba bulunya. Halus. Lembut. Kemaluannya tertutup oleh ketebalan bulunya.

Kemudian Bude Is membuka pahanya. Aku malu untuk melihat.
Bude pun berkata, "Andi lihatlah..! Ada belahannya kan..?"
Aku diam saja, karena belum pernah melihat kelamin perempuan. Kulihat wajahnya. Bude meremas-remas kemaluanku. Aku merasa nikmat. Dia menyuruhku mengurut pangkal pahanya. Tangan Bude Is mengurut-urut batang kemaluanku. Kadang-kadang diremasnya batang kemaluanku pelan-pelan. Enak sekali rasanya. Geli bila kena kepala kemaluanku di jarinya.

"Andi lihat nggak celah rambut kemaluan Bude, ada air nggak..?" kata Bude.
Jadi sekarang kuberanikan untuk melihat dekat-dekat. Dia yang menyuruh. Kusibakkan bulu vaginanya, nampak ada alur panjang dari atas ke bawah. Di celah kemaluan itu ada air. Aku mengangguk.
"Andi sibakkanlah dan buka belahan itu, lihat di sebelah atas ada daging sebesar kacang goreng, ada nggak..?" dia tanya padaku.
Huhh.., aku geram sekali. Selama hidup aku tidak pernah melihat kemaluan perempuan yang dewasa seperti Bude Is. Tapi sekarang Bude menyuruh melihat punyanya. Aku tidak tahu mau berbuat apa. Tidak pernah sekali pun melihat itu.

Sebelum aku menyibakkan kulit yang dia bilang itu, aku melihatnya dulu betul-betul. Ketika kusibak bulunya, aku melihat kemaluan Bude seperti terbelah dari atas memanjang ke bawah. Ada jalur. Panjang. Seperti mulut bayi tembam. Seperti bukit kecil. Tapi jalur yang terbelah itu tertutup rapat. Tidak kelihatan apa-apa.
Aku bilang, "Nggak ada Bude. Nggak ketemu."
Bude Is ketawa. Dia berkata dengan suara lemah lembut, "Andi, lihatlah dekat-dekat..!"

Kemudian kusibakkan kulit itu kiri-kanan, terbukalah kemaluannya.
"Udah nampak belum..?" katanya.
Menggigil juga tanganku ketika aku mengusik kemaluannya seperti yang dia suruh. Aku pun membuka dengan ujung jari. Aahhk.., ketika terbuka aku kaget. Rupanya, dalam kulit luar ada kulit lagi. Warnanya merah. Memang ada air. Aromanya aneh dan enak. Aku belum terbiasa dengan aroma itu. Aku mainkan dan sibakkan. Berlendir. Melekat di jariku. Rupanya di dalamnya ada lidah, di kiri dan di kanan. Kusibakkan lagi, nampak di bawah seperti ada lubang. Kecil saja. Rasanya lembek. Seperti daging kecil.

Kemudian aku bertanya, "Ini dia Bude..?"
Dia menjawab, "Bukan. Bukan di bawah. Tapi diatass..,"
Aku melihat ke sebelah atas. Kusibakkan lagi. Kutekan baru kelihatan daging kecil menonjol.
"Haha.. itulah yang Bude maksud..!" kata Bude. "Pintar kamu Ndi.." katanya lagi.
Aku senang karena berhasil menemukannya. Kutekan sedikit dengan dua jempolku. Kulit luarnya masuk ke dalam. Tonjolannya seperti kemaluan kucing. Luarnya dibungkus kulit. Pendek saja ukurannya, tapi kelihatan. Sepertinya keras. Memang ada daging sebesar biji kacang goreng.

Aku mengangguk lagi, "Ada Bude..!" kataku.
"Ya, itulah itil kepala bawah Bude. Namanya itil atau kelentit. Andi mainkan seperti mainkan puting susu Bude tadi, ya.. Nanti dia akan keras. Mainkan perlahan-lahan ya. Nanti akan berkurang sakit kepala Bude. Andi lakukan lah yaa..!" Bude Is seperti minta tolong kepadaku.
Aku pun menuruti kemauan Bude. Ada aroma lagi datang dari kemaluan Bude Is. Aku senang aromanya. Makin kumainkan klitoris Bude, makin kuat aromanya. Enak sekali. Sepertinya wangi sabun dan bau agak mentega bercampur menjadi satu. Ingin rasanya aku mencium lebih dekat ke kemaluan Bude.

"Ada air liur keluar di bibirnya, Bude." kataku.
Bude menjawab, "Nggak apa-apa, Andi mainkanlah terus sampai Bude puas." katanya lagi.
Aku melihat Bude Is rilek saja. Matanya tertutup rapat. Nafasnya kencang. Tangannya memegang sprei ranjang dan diremas-remasnya.
"Sakit Bude..?" kutanya dia.
Dia hanya menggelengkan kepala, "Nggaak..!" katanya pelan.
"Andi lakukan terus sampai Bude bilang berhenti." katanya lagi.
Aku terus melakukannya.

Lama-lama kurasakan paha Bude Is meregang. Betisnya mengeras. Jari kakinya juga meregang. Dia mengerang, "Uuhh.., hhmm.., iss.. isshh..! Enaak Ndi..!" katanya, "Gosok dengan kencang Ndii..!"
Aku pun mengikuti. Aku pun ingat waktu dulu. Ibu menyuruhku memijat kepalanya. Aku pun disuruh menggosok, tapi di dahinya. Ibu pun bilang enak juga. Tapi Bude Is agak lain. Dia menyuruhku memainkan kepala kecil di dalam kemaluannya. Kelentitnya. Ku dengar nafasnya makin kencang, kepalanya digelengkan ke kiri dan ke kanan. Dia menyuruhku meremas buah dadanya kuat-kuat. Aku meremas.

Tidak berapa lama kulihat Bude agak lega. Kemudian Bude membuka matanya, dan senyum padaku. Aku pun tersenyum.
"Udah sembuh sakit kepala Bude..?" kutanya.
Dia menjawab, "Belum seberapa hilangnya. Sekarang coba Andi telungkup di atas badan Bude, bolehkan..?" katanya.
Aku pun bertanya, "Telungkupnya gimana Bude..?" kataku.
Bude Is pun memegang pinggulku. Ditariknya aku ke atas dadanya. Dia menanggalkan handukku. Aku pun telanjang sudah, dan aku telungkup, pinggulku di atas dadanya. Kepalaku tepat di atas kemaluannya. Ahhk.., aroma kemaluanya enak sekali.

Kemudian Bude Is menyuruhku untuk menunggingkan pinggulku, berlutut di atas wajahnya. Aku pun menunggingkan pantatku dengan mengangkangkan pahaku tepat di atas wajahnya. Bude pun membuka dan mengangkangkan pahanya lebar-lebar. Kemaluannya menonjol karena pantatnya dialasi dengan bantal. Bude menyuruhku menyibakkan celah kemaluannya dengan jari. Kusibakkan.
"Ada airnya nggak, Ndi?" Bude Is bertanya. Kujawab ada.
"Andi lihat agak ke bawah, ada lubang, kan?" katanya lagi.
Aku jawab, "Ya."

Bude menyuruhku meletakkan lidah di celah kemaluannya. Dia menyuruhku menyapukan vaginanya dengan lidahku. Setelah itu dia menyuruhku memasukkan jari tengahku ke dalam lubang itu. Tekan dan tarik pelahan-lahan. Aku memasukkan jariku ke lubang kemaluan Bude. Mmhh, aroma air kemaluan Bude Is memang enak menusuk hidungku. Rasanya seperti sampai di otak kenikmatanku. Wangi. Kuhisap air vagina Budeku. Bude Is pun memegang kemaluanku yang sudah mulai tegang sedikit. Aku merasakan seperti dijilat. Seperti malam dulu, kubiarkan.

Setelah itu aku merasakan seperti dikulum kepala kemaluanku. Dimainkanya dengan lidah. Dan kurasakan kemaluanku seperti menyentuh bibir mulutnya. Kurasakan ujung kemaluanku seperti kena jilat di dalam mulutnya. Enak dan geli betul rasanya. Kurapatkan kakiku, tapi terhalang kepala Bude. Aku terpaksa menahan rasa enak dan geli. Badanku meriang. Lama-kelamaan hanya rasa enak yang terasa. Aku merasa Bude menjilat-jilat, habis itu rasanya kepala kemaluanku masuk ke dalam mulutnya. Habis semua batang kemaluanku. Kadang-kadang dikeluarkan kemaluanku, dijilat-jilatnya buah pelirku. Aku biarkan saja. Enak dan nikmatnya makin bertambah.

Kurasakan lidahnya mengulum kepala kemaluanku. Uhh.., gelinya bukan main. Kurasa kemaluanku semakin tegang. Aku mengerang menahan nikmat. Kudengar dia seperti menghisap kuat-kuat ujung kemaluanku. Crup.. crupp.. bunyi air liurnya. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Kutahan saja. Aku terasa mau kencing. Aroma dari kemaluan Bude Is masuk ke lubang hidungku sewaktu dia memeluk pinggulku. Aku terus menjilati kemaluannya seperti yang dia suruh. Jariku pun kudorong tarik di dalam lubang kemaluanya. Berlendir dan banyak, sehingga meleleh sampai ke pangkal jari tanganku. Bulu vaginanya kulihat basah kuyup. Air liurku bercampur dengan lendir Bude. Mulutku pun belepotan seperti adikku makan bubur bayi.

Aku terus menjilati kemaluan Bude. Aku dan Bude Is mengerang kenikmatan seperti orang sakit kepala. Aku mulai merasa melayang-layang. Keringatku mulai meleleh di tubuhku. Kujilat terus kemaluan Bude sampai Bude keluar peluh juga. Tiba-tiba Bude Is menyuruhku bangun. Dia menyuruhku pergi ke kamar mandi untuk kencing dulu. Memang benar. Aku kencing. Banyak sekali. Langsung kubasuh wajahku dan kumur-kumur.

Setelah kembali ke kamar, Bude menyuruhku untuk telentang. Dia naik ke atas dadaku. Aku di bawah. Aku diam saja. Aku tidak tahu apa yang mau Bude lakukan. Kubiarkan saja karena Bude lebih tahu apa yang akan dilakukannya. Bude menyuruhku meremas-remas buah dadanya seperti tadi. Aku meremasnya. Kemaluanku pun mulai mengeras. Dipegangnya batang kemaluanku. Dikocoknya seperti dalam kamar mandi tadi. Setelah keras, Bude menyuruhku untuk memejamkan mata. Kurasakan perlahan-lahan diarahkan kepala kemaluanku di lubang vaginanya, di tempat yang kujilati tadi. Diusap-usapnya kepala kemaluanku sampai berlumur lendir vaginanya. Aku rasakan licin. Basah.

Kemudian ditekan pelan-pelan batang kemaluanku ke lubang kemaluannya. Kurasakan kemaluanku masuk ke dalam lubang kemaluannya. Panas rasanya. Seperti kejepit. Ditekannya dalam-dalam. Kemudian Bude Is berhenti. Dia menarik nafas panjang. Waktu berhenti aku merasakan kepala kemaluanku seperti kena urut dalam vaginanya. Dikemut-kemut. Bude Is merebahkan dadanya di wajahku. Aku sudah paham. Kupegang payudaranya, keremas-remas sambil kukulum puting susunya.
"Oouuh.., Andi sudah pintar yaa..?" katanya, suaranya menggetar.

Aku terus menghisap. Terus kuraba-raba payudaranya. Aku merasa gerah, badan Bude Is pun sudah berkeringat. Aku terus meremas payudaranya. Sesekali kudengar Bude menarik nafas panjang. Bunyi nafasnya juga bertambah kencang. Nafasku pun begitu. Bude menyuruhku memainkan biji kacang di celah kemaluannya. Bude membantu tanganku dengan membungkukkan badannya, sehingga tanganku lebih leluasa memainkan kelentitnya.

Setelah itu Bude Is menggoyang pantatnya yang lebar itu. Ke atas dan ke bawah. Pelan-pelan saja. Aku merasakan ada sesuatu yang menjalar di batang kemaluanku. Bude memutar-mutar lubang kemaluannya dengan cara memutar-mutar pantatnta yang lebar itu di atas kemaluanku. Seperti orang mengaduk dodol. Dia goyang ke kiri dan ke kanan. Habis itu diangkat dan tekan pinggulnya. Aku rasakan nikmat tiada taranya. Jari tengah Bude meraba lubang pantatku. Bulu kemaluan Bude kena ke pangkal kemaluanku. Geli. Bunyi nafasnya bertambah keras.

"Enak nggak Ndii..?" tanya Bude Is.
Kujawab, "Hhhmm.." mataku tidak dapat kubuka, badanku terasa seperti melayang. Batang kemaluanku makin tegang dan keras. Aku pikir karena digenjot Bude. Diusapnya pantatku. Lembut saja. Bude Is memang pintar mengusik tempat yang membuatku melayang. Enak. Bude Is terus menggenjot dan menggoyangkan pantatnya ke atas ke bawah, kadang memutar. Sesekali dirapatkannya wajahnya ke wajahku. Diciumnya mulutku. Kubuka mulutku. Dihisap lidahku. Seperti orang berciuman di TV. Aku pun membalas. Kuhisap lidahnya seperti yang diajarkannya tadi.

Bude Is seperti bertengger di atas kemaluanku. Sedikit demi sedikit batang kemaluanku terpacak keras, terbenam masuk ke dalam lubang kemaluannya. Dia menggenjot dari atas. Aku tahan di bawah. Dia memelukku kuat-kuat, sehingga membuatku susah untuk bernafas. Kami seperti beradu tenaga. Memang Bude Is mudah memasukkan batang kemaluanku, sebab lubang kemaluannya sudah banyak lendir. Kemaluanku rasanya licin bila disorong tarik di dalam lubang kemaluanya.

"Aahhgg..!" Bude Is merengek setiap kali dia bergoyang.
"Enaak Nddii..!" katanya padaku.
Aku mulai meriang. Tenggorokanku kering. Ada rasa seperti kesemutan di tenggorokanku saat Bude menggenjot pantatnya. Kutusuk dan hentakkan kemaluanku ke dalam lubang kemaluan Bude. Semakin cepat dia genjot, semakin sering dia merengek, "Eh eh es eh eh ess..!"
Sambil menggenjot dari atas, tanganku mengusap-usap payudaranya. Puting payudaranya kuputar-putar. Kadang kuangkat kepalaku agar dapat aku menghisap puting payudaranya.

Puas bermain tanganku di putingnya. Begitu seterusnya sehingga puting susu Bude menjadi tegang dan keras.
Mulutnya melenguh, "Uh uh uh..!"
Bude Is membiarkanku untuk berbuat sesuka hati terhadap payudaranya. Semakin kuremas dia semakin melenguh dia. Kuat. Enjotannya pun makin kuat dan cepat. Hisapan kemaluan Bude Is memang kuat, lama-lama aku seperti mau kencing. Aku tidak bisa rasanya menahan kencing.
Aku memberitahu Bude, "Bude, Andi mau kencing niih..!"
Bude Is menjawab, "Nggak apa-apa, kencing aja dalam lubang kemaluan Bude."

Terus Bude menggenjot lebih cepat, lagi dan lebih. Lama-lama aku sudah tidak tahan lagi. Melihatku makin tidak tahan, Bude Is memeluk bahuku. Maka terpancutlah kencingku, aku memekik, "Budee.. Andi udah mau.. keluaarr.., aahhk..!"
Aku sudah nggak tahan. Bude Is pun menekan habis kemaluannya dan menggenjot, angkat, enjot, angkat, enjot. Cepat. Lebih sering. Tenggorokannya pun mengeluarkan bunyi dari dalam.
"Arrgg.., Andi.., Aarrgghh..!"

"Andi dah keluar Bude." kataku sambil memeluk pinggang Bude erat-erat.
Kupeluk seperti itu agar kemaluanku terbenam lebih dalam ke dalam lubang kemaluan Bude. Wajah Bude kelihatan berkerut. Aku tidak tahu, apakah sakit kepalanya kambuh lagi. Pelan-pelan dia tekan pinggulku karena mau mencabut kemaluanku yang tertanam dalam lubang kemaluannya. Bude Is masih memelukku. Lubang kemaluan Bude masih belum mau melepaskan kemaluanku. Entah berapa kali aku pancutkan ke dalam rahim Bude. Aku rasa kencingku banyak. Kencingku memancut tidak putus-putus. Pekat rasanya.

Aku melihat biji mata Bude Is terbeliak bila aku kencing dalam rahimnya. Hangat pancutan air kencingku itu dapat kurasakan mengalir di buah pelirku. Mungkin di dalam kemaluan Bude sudah penuh dengan air kencingku tadi. Aku diam saja. Bude Is juga terdiam. Seperti bisu. Dia memelukku. Keringat Bude mengalir di dahinya. Aroma keringatnya wangi-wangi amis. Ketiaknya menempel di hidungku. Batang kemaluanku terasa mulai kendur. Berangsur-angsur menjadi kecil. Lama Bude Is membiarkan kemaluanku di dalam lubang kemaluannya.

Waktu itu perasaanku sangat bangga, karena aku berhasil menolong mengobati sakit kepala Bude Is. Kemaluan Bude memang enak menjadi tempat kencingku. Memang pintar dia membuatku kencing. Enak. Liang kemaluan Bude pun sangat kuat mengemut batang kemaluanku. Kemutannya saja dapat membuatku melayang lupa diri. Kuharap dia senang hati, karena aku menolongnya menyembuhkan sakit kepalanya. Aku tidak menyangka, anak lelaki sepertiku boleh kencing di dalam liang kemaluan perempuan. Nikmat pula. Aahh..!

Lebih kurang sepuluh menit Bude Is memeluk tubuhku. Dia sepertinya tertidur. Mulutku mengulum puting payudaranya. Bude membiarkan saja. Kuremas, kumainkan, kuhisap putingnya. Ketika dia bangun, baru dia cabut kemaluanku dari lubang kemaluannya. Diciumnya pipiku.
"Masih sakit kepala Bude..?" kutanya.
Dia menjawab, "Tidakk Sayang. Udah baikan sekarang. Kan tadi Andi udah menyiram sama air ke dalam kemaluan Bude..?" dia tersenyum.
"Apa..? Andi tadi kencing Bude." kataku.
"Husyy.. itu bukan kencing. Air mani namanya." diajarkannya aku namanya.

Setelah itu kami tidur. Bude Is memelukku. Waktu mau tidur, diurut-urutnya batang kemaluanku. Aku pun meremas-remas payudaranya. Mulutnya menghisap lidahku. Aku pun begitu juga.

Birahi adik iparku yang tertunda

"Masak apa Yen?" kataku sedikit mengejutkan adik iparku, yang saat itu sedang berdiri sambil memotong-motong tempe kesukaanku di meja dapur.
"Ngagetin aja sih, hampir aja kena tangan nih," katanya sambil menunjuk ibu jarinya dengan pisau yang dipegangnya.
"Tapi nggak sampe keiris kan?" tanyaku menggoda.
"Mbak Ratri mana Mas, kok nggak sama-sama pulangnya?" tanyanya tanpa menolehku.
"Dia lembur, nanti aku jemput lepas magrib," jawabku.
"Kamu nggak ke kampus?" aku balik bertanya.
"Tadi sebentar, tapi nggak jadi kuliah. Jadinya pulang cepat."
"Aauww," teriak Yeyen tiba-tiba sambil memegangi salah satu jarinya. Aku langsung menghampirinya, dan kulihat memang ada darah menetes dari jari telunjuk kirinya.
"Sini aku bersihin," kataku sambil membungkusnya dengan serbet yang aku raih begitu saja dari atas meja makan.

Yeyen nampak meringis saat aku menetesinya dengan Betadine, walau lukanya hanya luka irisan kecil saja sebenarnya. Beberapa saat aku menetesi jarinya itu sambil kubersihkan sisa-sisa darahnya. Yeyen nampak terlihat canggung saat tanganku terus membelai-belai jarinya.

"Udah ah Mas," katanya berusaha menarik jarinya dari genggamanku. Aku pura-pura tak mendengar, dam masih terus mengusapi jarinya dengan tanganku.

Aku kemudian membimbing dia untuk duduk di kursi meja makan, sambil tanganku tak melepaskan tangannya. Sedangkan aku berdiri persis di sampingnya.

"Udah nggak apa-apa kok Mas, Makasih ya," katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku.

Kali ini ia berhasil melepaskannya.

"Makanya jangan ngelamun dong. Kamu lagi inget Ma si Novan ya?" godaku sambil menepuk-nepuk lembut pundaknya.
"Yee, nggak ada hubungannya, tau," jawabnya cepat sambil mencubit punggung lenganku yang masih berada dipundaknya.

Kami memang akrab, karena umurku dengan dia hanya terpaut 4 tahun saja. Aku saat ini 27 tahun, istriku yang juga kakak dia 25 tahun, sedangkan adik iparku ini 23 tahun.

"Mas boleh tanya nggak. Kalo cowok udah deket Ma temen cewek barunya, lupa nggak sih Ma pacarnya sendiri?" tanyanya tiba-tiba sambil menengadahkan mukanya ke arahku yang masih berdiri sejak tadi.

Sambil tanganku tetap meminjat-mijat pelan pundaknya, aku hanya menjawab, "Tergantung."
"Tergantung apa Mas?" desaknya seperti penasaran.
"Tergantung, kalo si cowok ngerasa temen barunya itu lebih cantik dari pacarnya, ya bisa aja dia lupa Ma pacarnya," jawabku sekenanya sambil terkekeh.
"Kalo Mas sendiri gimana? Umpamanya gini, Mas punya temen cewek baru, trus tu cewek ternyata lebih cantik dari pacar Mas. Mas bisa lupa nggak Ma cewek Mas?" tanya dia.
"Hehe," aku hanya ketawa kecil aja mendengar pertanyaan itu.
"Yee, malah ketawa sih," katanya sedikit cemberut.
"Ya bisa aja dong. Buktinya sekarang aku deket Ma kamu, aku lupa deh kalo aku udah punya istri," jawabku lagi sambil tertawa.
"Hah, awas lho ya. Ntar Yeyen bilangan lho Ma Mbak Ratri," katanya sambil menahan tawa.
"Gih bilangin aja, emang kamu lebih cantik dari Mbak kamu kok," kataku terbahak, sambil tanganku mengelus-ngelus kepalanya.
"Huu, Mas nih ditanya serius malah becanda."
"Lho, aku emang serius kok Yen," kataku sedikit berpura-pura serius. Kini belaian tanganku di rambutnya, sudah berubah sedikit menjadi semacam remasan-remasan gemas.

Dia tiba-tiba berdiri.

"Yeyen mo lanjutin masak lagi nih Mas. Makasih ya dah diobatin," katanya.

Aku hanya membiarkan saja dia pergi ke arah dapur kembali. Lama aku pandangi dia dari belakang, sungguh cantik dan sintal banget body dia. Begitu pikirku saat itu. Aku mendekati dia, kali ini berpura-pura ingin membantu dia.

"Sini biar aku bantu," kataku sambil meraih beberapa lembar tempe dari tangannya.

Yeyen seolah tak mau dibantu, ia berusaha tak melepaskan tempe dari tangannya.

"Udah ah, nggak usah Mas," katanya sambil menarik tempe yang sudah aku pegang sebagian.

Saat itu, tanpa kami sadari ternyata cukup lama tangan kami saling menggenggam. Yeyen nampak ragu untuk menarik tangannya dari genggamanku. Aku melihat mata dia, dan tanpa sengaja pandangan kami saling bertabrakan. Lama kami saling berpandangan.

Perlahan mukaku kudekatkan ke muka dia. Dia seperti kaget dengan tingkahku kali ini, tetapi tak berusaha sedikit pun menghindar. Kuraih kepala dia, dan kutarik sedikit agar lebih mendekat ke mukaku. Hanya hitungan detik saja, kini bibiku sudah menyentuh bibirnya.

"Maafin aku Yen," bisiku sambil terus berusaha mengulum bibir adik iparku ini.

Yeyen tak menjawab, tak juga memberi respon atas ciumanku itu. Kucoba terus melumati bibir tipisnya, tetapi ia belum memberikan respon juga. Tanganku masih tetap memegang bagian belakang kepala dia, sambil kutekankan agar mukanya semakin rapat saja dengan mukaku. Sementara tangaku yang satu, kini mulai kulingkarkan ke pinggulnya dan kupeluk dia.

"Sshh," Yeyen seperti mulai terbuai dengan jilatan demi jilatan lidahku yang terus menyentuh dan menciumi bibirnya.

Seperti tanpa ia sadari, kini tangan Yeyen pun sudah melingkar di pinggulku. Dan lumatanku pun sudah mulai direspon olehnya, walau masih ragu-ragu.

"Sshh," dia mendesah lagi.

Mendengar itu, bibirku semakin ganas saja menjilati bibir Yeyen. Perlahan tapi pasti, kini dia pun mulai mengimbangi ciumanku itu. Sementara tangaku dengan liar meremas-remas rambutnya, dan yang satunya mulai meremas-remas pantat sintal adik iparku itu.

"Aahh, mass," kembali dia mendesah.

Mendengar desahan Yeyen, aku seperti semakin gila saja melumati dan sesekali menarik dan sesekali mengisap-isap lidahnya. Yeyen semakin terlihat mulai terangsang oleh ciumanku. Ia sesekali terlihat menggelinjang sambil sesekali juga terdengar mendesah.

"Mas, udah ya Mas," katanya sambil berusaha menarik wajahnya sedikit menjauh dari wajahku.

Aku menghentikan ciumanku. Kuraih kedua tangannya dan kubimbing untuk melingkarkannya di leherku. Yeyen tak menolak, dengan sangat ragu-ragu sekali ia melingkarkannya di leherku.

"Yeyen takut Mas," bisiknya tak jauh dari ditelingaku.
"Takut kenapa, Yen?" kataku setengah berbisik.
"Yeyen nggak mau nyakitin hati Mbak Ratri Mas," katanya lebih pelan.

Aku pandangi mata dia, ada keseriusan ketika ia mengatakan kalimat terakhir itu. Tapi, sepertinya aku tak lagi memperdulikan apa yang dia takutkan itu. Kuraih dagunya, dan kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya. Yeyen dengan masih menatapku tajam, tak berusaha berontak ketika bibir kami mulai bersentuhan kembali. Kucium kembali dia, dan dia pun perlahan-lahan mulai membalas ciumanku itu. Tanganku mulai meremas-remas kembali rambutnya.

Bahkan, kini semakin turun dan terus turun hingga berhenti persis di bagian pantatnya. Pantanya hanya terbalut celana pendek tipis saja saat aku mulai meremas-remasnya dengan nakal.

"Aahh, Mas," desahnya.

Mendengar desahannya, tanganku semakin liar saja memainkan pantat adik iparku itu. Sementara tangaku yang satunya, masih berusaha mencari-cari payudaranya dari balik kaos oblongnya. Ah, akhirnya kudapati juga buah dadanya yang mulai mengeras itu.

Dengan posisi kami berdiri seperti itu, batang penisku yang sudah menegang dari tadi ini, dengan mudah kugesek-gesekan persis di mulut vaginanya. Kendati masih sama-sama terhalangi oleh celana kami masing-masing, tetapi Yeyen sepertinya dapat merasakan sekali tegangnya batang kemaluanku itu.

"Aaooww Mas," ia hanya berujar seperti itu ketika semakin kuliarkan gerakan penisku persis di bagian vaginanya. Tanganku kini sudah memegang bagian belakang celana pendeknya, dan perlahan-lahan mulai kuberanikan diri untuk mencoba merosotkannya. Yeyen sepertinya tak protes ketika celana yang ia kenakan semakin kulorotkan.

Otakku semakin ngeres saja ketika seluruh celananya sudah merosot semuanya di lantai. Ia berusaha menaikan salah satu kakinya untuk melepaskan lingkar celananya yang masih menempel di pergelangan kakinya. Sementara itu, kami masih terus berpagutan seperti tak mau melepaskan bibir kami masing-masing.

Dengan posisi Yeyen sudah tak bercelana lagi, gerakan-gerakan tanganku di bagian pantatnya semakin kuliarkan saja. Ia sesekali menggelinjang saat tanganku meremas-remasnya.

Untuk mempercepat rangsangannya, aku raih salah satu tanganya untuk memegang batang zakarku kendati masih terhalang oleh celana jeansku. Perlahan tangannya terus kubimbing untuk membukakan kancing dan kemudian menurunkan resleting celanaku. Aku sedikit membantu untuk mempermudah gerakan tangannya. Beberapa saat kemudian, tangannya mulai merosotkan celanaku. Dan oleh tanganku sendiri, kupercepat melepaskan celana yang kupakai, sekaligus celana dalamnya.

Kini, masih dalam posisi berdiri, kami sudah tak lagi memakai celana. Hanya kemejaku yang menutupi bagian atas badanku, dan bagian atas tubuh Yeyen pun masih tertutupi oleh kaosnya. Kami memang tak membuka itu. Tanganku kembali membimbing tangan Yeyen agar memegangi batang zakarku yang sudah menegang itu.

Kini, dengan leluasa Yeyen mulai memainkan batang zakarku dan mulai mengocok-ngocoknya perlahan. Ada semacam tegangan tingi yang kurasakan saat ia mengocok dan sesekali meremas-remas biji pelerku itu.

"Oohh," tanpa sadar aku mengerang karena nikmatnya diremas-remas seperti itu.
"Mas, udah Mas. Yeyen takut Mas," katanya sambil sedikit merenggangkan genggamannya di batang kemaluanku yang sudah sangat menegang itu.
"Aahh," tapi tiba-tiba dia mengerang sejadinya saat salah satu jariku menyentuh klitorisnya. Lubang vagina Yeyen sudah sangat basah saat itu.

Aku seperti sudah kerasukan setan, dengan liar kukeluar-masukan salah satu jariku di lubang vaginanya.

"Aaooww, mass, een, naakk.." katanya mulai meracau. Mendengar itu, birahiku semakin tak terkendali saja.

Perlahan kuraih batang kemaluanku dari genggamannya, dan kuarahkan sedikit demi sedikit ke lubang kemaluan Yeyen yang sudah sangat basah.

"Aaoww, aaouuww," erangnya panjang saat kepala penisku kusentuh-sentukan persis di klitorisnya.
"Please, jangan dimasukin Mas," pinta Yeyen, saat aku mencoba mendorong batang zakarku ke vaginanya.
"Nggak Papa Yen, sebentaar aja," pintaku sedikit berbisik ditelinganya.
"Yeyen takut Mas," katanya berbisik sambil tak sedikit pun ia berusaha menjauhkan vaginanya dari kepala kontolku yang sudah berada persis di mulut guanya.

Tangan kiri Yeyen mulai meremas-remas pantatku, Sementara tangan kanannya seperti tak mau lepas dari batang kemaluanku itu. Untuk sekedar membuatnya sedikit tenang, aku sengaja tak langsung memasukan batang kemaluanku. Aku hanya meminta ia memegangi saja.

"Pegang aja Yen," kataku pelan.

Yeyen yang saat itu sebenarnya sudah terlihat bernafsu sekali, hanya mengangguk pelan sambil menatapku tajam. Remasan demi remasan jemari yeyen di batang zakarku, dan sesekali di buah zakarnya, membuatku kelojotan.

"Aku udah gak tahan banget Yen," bisikku pelan.
"Yeyen takut banget Mas," katanya sambil mengocok-ngocok lembut kemaluanku itu.
"Aahh," aku hanya menjawabnya dengan erangan karena nikmatnya dikocok-kocok oleh tangan lembut adik iparku itu.

Kembali kami saling berciuman, sementara tangan kami sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Saat bersamaan dengan ciuman kami yang semakin memanas, aku mencoba kembali untuk mengarahkan kepala kontolku ke lubang vaginanya. Saat ini, Yeyen tak berontak lagi. Kutekan pantat dia agar semakin maju, dan saat bersamaan juga, tangan Yeyen yang sedang meremas-remas pantatku perlahan-lahan mulai mendorongnya maju pantatku.

"Kita sambil duduk, sayang," ajaku sambil membimbing dia ke kursi meja makan tadi. Aku mengambil posisi duduk sambil merapatkan kedua pahaku. Sementara Yeyen kududukan di atas kedua pahaku dengan posisi pahanya mengangkang.

Sambil kutarik agar dia benar-benar duduk di pahaku, tanganku kembali mengarahkan batang kemaluanku yang posisinya tegak berdiri itu agar pas dengan lubang vagina Yeyen. Ia sepertinya mengerti dengan maksudku, dengan lembut ia memegang batang kemaluanku sambil berupaya mengepaskan posisi lubang vaginanya dengan batang kemaluanku.

Dan bless, perlahan-lahan batang kemaluanku menusuk lubang vagina Yeyen.

"Aahh, aaooww, mass," Yeyen mengerang sambil kelojotan badannya.

Kutekan pinggulnya agar dia benar-benar menekan pantatnya. Dengan demikian, batang kontolku pun akan melesak semuanya masuk ke lubang vaginanya.

"Yeenn," kataku.
"Aooww, ter, russ mass.., aahh.." pantatnya terus memutar seperti inul sedang ngebor.
"Ohh, nik, nikmat banget mass.." katanya lagi sambil bibirnya melumati mukaku.

Hampir seluruh bagian mukanku saat itu ia jilati. Untuk mengimbangi dia, aku pun menjilati dan mengisap-isap puting susunya. Darahku semakin mendidih rasanya saat pantatnya terus memutar-mutar mengimbangi gerakan naik-turun pantatku.

"Mass, Yee, Yeeyeen mau," katanya terputus.

Aku semakin kencang menaik-turunkan gerakan pantatku.

"Aaooww mass, please mass" erangnya semakin tak karuan.
"Yee, Yeyeen mauu, kee, kkeeluaarr mass," ia semakin meracau.

Namun tiba-tiba, "Krriingg.."

"Aaooww, Mas ada yang datang Mas.." bisik Yeyen sambil tanpa hentinya mengoyang-goyangkan pantatnya.
"Yenn," suara seseorang memanggil dari luar.
"Cepetan buka Yenn, aku kebelet nih," suara itu lagi, yang tak lain adalah suara Ratri kakaknya sekaligus istriku.
"Hah, Mbak Ratri Mas," katanya terperanjat.

Yeyen seperti tersambar petir, ia langsung pucat dan berdiri melompat meraih celana dalam dan celana pendeknya yang tercecer di lantai dapur.

Sementara aku tak lagi bisa berkata apa-apa, selain secepatnya meraih celana dan memakainya. Sementara itu suara bel dan teriakan istriku terus memanggil.

"Yeenn, tolong dong cepet buka pintunya. Mbak pengen ke air nih," teriak istriku dari luar sana.
Yeyen yang terlihat panik sekali, buru-buru memakai kembali celananya, sambil berteriak, "Sebentarr, sebentar Mbak.."
"Mas buruan dipake celananya," Yeyen masih sempet menolehku dan mengingatkanku untuk secepatnya memakai celana.

Ia terus berlari ke arah pintu depan, setelah dipastikan semuanya beres, ia membuka pintu. Aku buru-buru berlari ke arah ruang televisi dan langsung merebahkan badan di karpet agar terlihat seolah-olah sedang ketiduran.

"Gila," pikirku.
"Huu, lama banget sih buka pintunya? Orang dah kebelet kayak gini," gerutu istriku kepada Yeyen sambil terus menyelong ke kamar mandi.
"Iya sori, aku ketiduran Mbak," kata Yeyen begitu istriku sudah keluar dari kamar mandi.
"Haa, leganyaa," katanya sambil meraih gelas dan meminum air yang disodorkan oleh adiknya.
"Mas Jeje mana Yen?"
"Tuh ketiduran dari tadi pulang ngantor di situ," kata Yeyen sambil menunjuk aku yang sedang berpura-pura tidur di karpet depan televisi.
"Ya ampun, Mas kok belum ganti baju sih?" kata istriku sambil mengoyang-goyangkan tubuhku dengan maksud membangunkan.
"Pindah ke kamar gih Mas," katanya lagi.

Aku berpura-pura ngucek-ngucek mata, agar kelihatan baru bangun beneran. Aku tak langsung masuk kamar, tapi menyolong ke dapur mengambil air minum.

"Lho katanya pulang ntar abis magrib, kok baru jam setengah lima udah pulang? Kamu pulang pake apa?" tanyaku berbasa-basi pada istriku.
"Nggak jadi rapatnya Mas. Pake taksi barusan," jawab dia.
"Lho, kamu lagi masak toh Yen? Kok belum kelar gini dah ditinggal tidur sih?" kata istriku kepada Yeyen setelah melihat irisan-irisan tempe berserakan di meja dapur.
"Mana berantakan, lagi," katanya lagi.
"Iya tadi emang lagi mo masak. Tapi nggak tahan ngantuk. Jadi kutinggal tidur aja deh," Yeyen berusaha menjawab sewajarnya sambil senyum-senyum.

Sore itu, tanpa mengganti pakaiannya dulu, akhirnya istrikulah yang melanjutkan masak. Yeyen membantu seperlunya. Sementara itu, aku hanya cengar-cengir sendiri saja sambil duduk di kursi yang baru saja kupakai berdua dengan Yeyen bersetubuh, walau belum sempat mencapai puncaknya.

"Waduh, kasihan Yeyen. Dia hampir aja sampai klimaksnya padahal barusan, eh keburu datang nih mbaknya," kataku sambil nyengir melihat mereka berdua yang lagi masak.