Jumat, 04 November 2011

Antara Ada dan Tiada

Ray baru saja bangun dari tidurnya. Kepalanya rada pusing, Ray meringis....duh..kebanyakan minum semalam. Ray keluar dari kamarnya, sekilas melirk jam di dinding, hampir jam 10, mamanya seperti biasa pasti ke kantor, kakaknya Dina, tahu banget, kagak jelas dan juga gak terlalu ia pikirkan. Ray ngelihat meja makan, kosong...seperti biasa, cuma ada makanan pada jam segini hanya kalau mama libur kerja. Ray mengambil rokok lalu duduk sambil merokok. Pikirannya mengembara ke mana – mana.

Ya, remaja itu Ray, 19 tahun, usia tanggung, mencari jati diri, penuh pemberontakan. Lulus SMA, menolak kuliah, dipaksa juga menolak. Kerjanya seharian keluyuran dan berbuat kenakalan. Secara fisik, athletis, tinggi, badannya tegap. Wajahnya juga boleh dibilang ganteng, paling tidak cewek bakal melirik kepadanya, tapi Ray nggak terlalu peduli hal itu. Sebenarnya otaknya juga encer, di SMA, walau sering bolos, sering bikin onar, bahkan sudah dicap biang kerok sekolahan, nilainya tetap bagus, lulus dengan nilai jauh dari lumayan. Kakaknya Dina, 21 tahun, tapi jarang akurnya, cela – celaan melulu, lebih banyak saling cuek, dia kuliah, jurusan seni dan design, sebentar lagi selesai. Ray tak tahu jadwal kuliahnya, tapi Dina sering banget pulang malam, Ray kagak terlalu peduli. Mamanya, Renita, 39 tahun, pekerja kantoran, loyalitas dan kerja kerasnya membuatnya kini menduduki posisi lumayan di kantornya, perusahaan swasta.

Sosok bapak...? Ray nggak tahu dan tidak peduli. Papanya meninggalkan mereka saat Ray berumur 10 tahun, kawin lagi kabarnya. Bagi Ray, sosok papa cumalah sebagai orang yang membuatnya lahir ke dunia, nggak lebih dari itu. Tak ada kesan ataupun kenangan indah yang Ray rasa pantas untuk diingat. Untung mamanya walau sudah menikah tetap bekerja. Secara status, keluarganya bisa dibilang golongan menengah.

Ray yang terbiasa sendiri di rumah, tumbuh menjadi sosok pemberontak, nakal. Merokok, minum, berkelahi, sampai malak sudah jadi hal biasa. Ray tumbuh dengan tidak mempercayai nilai sosial, nilai etika, tak ada aturan yang bisa mengekang aku. Hidup adalah bagaimana aku bertahan dan melaluinya. Hubungan sosial dan masalah etika, moral, nggak pernah terpikir atau dipikirkan. Ray adalah antara ada dan tiada, bagi kelompoknya dan keluarganya dia ada, tapi bagi sebagian besar lingkungannya...apa bedanya...ada dan nggak ada juga nggak masalah. Kalaupun ada satu orang yang Ray bisa sayangi dan cintai, itu adalah mamanya. Walau secara sikap Ray suka membantah, memberontak, tapi jauh di dasar hatinya Ray amat menyayanginya.....walau ia tak pernah mengungkapkannya.

Mamanya masih memberinya uang, seperti jaman sekolah selalu setiap Senin, sekaligus jatah seminggu. Sekarang kalau Ray masih tidur, biasanya ditaruh di meja. Tapi Ray nggak pernah meminta lebih atau tambahan, toh ia bisa mencari sendiri. Sedikit banyak ia seudah sangat terbiasa dengan memalak orang, kalau mau dibilang malak adalah istilah halusnya, lebih mirip nodong seih sebenarnya.

Ray menyelesaikan rokoknya...mandi pikirnya. Setelah mandi, ia keluar rumah, mengunci pintu dan pagarnya terus jalan. Ray nggak terlalu mempedulikan keadaan sekelilingnya, cuek saja berjalan. Bukan ia tak bergaul di lingkungannya, namun jarang. Cari warung dulu, makan. Ray lalu menuju pinggir jalan, angkot yang biasa ia naiki tiba, Ray segera naik. Tiba di mall biasa ia nongkong, segera menuju kelompoknya biasa ngumpul, di bagian luar mall, di pojok samping. Di tengah mereka Ray merasa hidup dan diterima.

”Wei...bro, minum....?”
””Makasih, entar aja, masih pagi Jul.”

Tadi itu Panjul, sohibnya. Masih ada Deden, Black, Oga, dan banyak lagi, juga ada anak sini, semuanya remaja tanggung yang sama – sama mencari pelarian. Hari beranjak siang, seperti biasa mereka asik becanda, warga sini nggak terlalu ambil pusing atau merasa terganggu, yang penting nggak reseh di sini. Ray melirik jam tangannya....

”Jul, Den, nyari duit yuk....”
”Ayo deh....”

Yang dimaksud nyari duit di sini, apalagi kalau bukan malak. Malakin anak SMA atau yang lagi sendirian, yang kira – kira rada cengok. Si ray paling ganas, kalau nggak dikasih, habis dia hajar. Mereka malak, tapi nggak pernah pakai senjata tajam. 3 orang nempel satu orang, ya nggak perlu senjata lagi. 3 remaja tanggung ini segera menuju ke depan mall, jalan menuju halte, ngelihat dan menunggu calon mangsanya. Nggak selalu di sini, kadang nyari lokasi agak jauhan. Tapi sekarang nampak calon mangsa, seorang remaja rada kurus,berkaca mata, lagi asik dengan HP nya. Kalau sudah biasa, sedikit banyak naluri pasti terasah, bisa ngebaca mangsa, bisa menilai mana yang cemen,bisa digertak, yang nggak bakalan mau repot melaporkan musibahnya ke petugas, kadang memang ketemu yang kelotokan, ngelawan, tapi 3 lawan 1 jelas yang 3 di atas angin. Panjul nyolek Ray, ngasih kode. Mereka mendekat. Halte agak sepi, tukang rokok di situ sudah hapal ama Ray Cs, belagak nggak lihat, ngeri kalau macam – macam. Ray segera merangkul mangsanya.

”Hei...lagi ngapain loe...?”

Si mangsa yang asik SMS-an kaget dan mendongak, wajahnya pucat melihat ada 3 orang remaja mengapitnya. Pasti apes deh feeling si mangsa itu.......

”Nung...nunggu bis bang.”
”Eh...mulut kita asem nih, bagi duit dong...”
”Ng...nggak ada bang...cuman ongkos doang.”
”Ye...pelit amat loe, kita mau ngerokok nih...”
”Be..benar nih bang.”

Ray kagak mau banyak ngomong lagi, ditariknya HP anak itu, tinjunya melayang ke muka anak malang itu. Panjul sama Deden segera ikut berpartisipasi, orang – orang belagak nggak melihat. Setelah anak itu ngeringkuk nggak berdaya, Ray merogoh celana anak itu, mengambil dompetnya. Dibukanya dompet itu, haha...banyak duitnya. Diambilnya duit tersebut, selembar gocengan diremas – remas olehnya, lalu ditimpuknya ke muka anak itu.

”Tuh buat naik bis, nggak tega kalau loe mesti jalan kakim salah loe sendiri kepelitan...yuk cabut.”

Ketiga jagoan ini buru – buru bergegas, takut ada masalah. Ngambil jalan agak memuter, biar nggak ketara. Sampai di tongkrongan sepi, yang lain juga lagi nyari duit. Ray ketawa – tawa bersama temannya. Lalu Ray menyuruh temannya menunggu, dia masuk Mall, mau jual HP ke toko yang biasa nerima barang betrikan. Temannya nggak masalah, memang nganggap Ray yang mimpin. Setelah sampai, yang punya toko cuma ngasih tanda lewat matanya buat duduk dulu, lagi sibuk melayani pembeli. Sudah hapal dengan tujuan Ray. Setelah kelar, dia mendekat, Ray mengeluarkan barangnya. Tawar menawar sedikit, Ray menerima uangnya. Lumayan, hasil HP sama duit yang di dompet tadi jadi 900 ribu. Ray kembali, memberikan masing – masing 250 ribu ke Panjul dan Deden. Bukannya dia serakah, namun buat pengaturan memang selalu dia yang megang dan dipercaya sama kedua temannya itu. Lagipula kalau mereka bertiga makan, beli rokok, jalan, ya duit lebihnya juga buat bayarin mereka juga. Minum sebentar, Ray mengeluarkan HP nya lalu bilang cabut bentar, nanti balik lagi.

Ray segera menaiki bis yang ia tunggu. Duduk di belakang, asik merokok, cuek sama ibu – ibu yang sibuk batuk – batuk secara berlebihan. Sama – sama bayar kan naik bisnya pikirnya taj toleransi. Tak lama tiba di kampus XX. Ray nongkrong di warung rokok,tahu orang yang ditunggu akan datang ke sini. Ia keluarkan HP, mengirim SMS memberitahu sudah sampai. Tak lama nampak seorang gadis menghampiri.

Dia Eva, 19 tahun, pacarnya Ray. Sekarang kuliah di awal tingkat 2, jurusan ekonomi. Hubungan yang aneh kata banyak orang. Dulu mereka satu SMA. Jadian saat kelas 2. Mungkin dalam hidup Ray yang hancur, Eva adalah setitik embun penyejuk bagi dirinya. Entah apa yang Eva lihat pada diri Ray, Eva cantik, berkecukupan, pandai, kata banyak orang jelas Eva salah pilih pacar. Bolehlah si Ray ganteng, tapi selebihnya sampah. Tapi bagi Eva, Ray adalah lelaki idamannya. Tadinya Eva berharap Ray mau kuliah, tapi sulit memaksanya. Ray sekarang ini terkadang suka menjemput Eva. Hampir 2 tahun pacaran, belum pernah sekalipun Ray ketemu orangtua Eva, Cuma melihat fotonya, kalau datang selalu siang, saat orangtuanya bekerja. Malam minggu, tipe kayak Ray mana peduli sih buat ngapel ke rumah pacar, ketemu di luaran, anterin pulang nggak merasa perlu masuk rumah.Eva sendiri punya saudari kembar Evi. Saudarinya ini ada di Semarang, diminta opa – omanya menemani sambil sekolah di sana. Ray juga belum pernah bertemu.

Mereka segera berjalan, menuju parkiran, ke mobilnya Eva.Eva menyerahkan kunci mobil, Ray lalu menyetir mobil itu.

”Ke mana Va...?”
”Pulang saja ya....lagi malas jalan Ray.”

Ray segera mengarahkan mobil ke rumah Eva, sampai di sana turun membuka gerbang rumah Eva yang lumayan besar. Cuma ada satu pembantu, mbok Surti, orangnya nggak mau ikut campur urusan majikannya, apa yang dikerjakan majikannya itu hak mereka. Segera saja Ray sudah duduk di sofa yang empuk, sementara Eva mengambilkan minum. Eva memang cantik, wajahnya menarik, dengan alis tebal, bibir seksi, bodinya juga matang untuk usianya, seksi, pantat montok, tetek besar dan penuh. Ray juga yang pertama kali menidurinya sekaligus merawani, sama – sama mau.

”Nih minum dulu...”
”Iya...duh ngerokok terus...”
”Enak sih. Gimana kuliahnya...?”
”Baik...aku masih berpendapat seharusnya kamu juga kuliah Ray...”
”Va...nggak usah dibahas lagi dong...capek...”
”Iya..tapi...”
”Va...cukup, daripada ngomongin itu mendingan....”

Ray dengan jahil mulai mremas tetek Eva di balik bajunya. Eva menepis tangan Ray, sambi tesenyum nakal, dia berdiri dan berjalan menuju kamarnya...Ray segera mematikan rokoknya mengikuti. Di belakang mbok Surti masih asik dengan setrikaannya, nggak mau tahu urusan non muda.

Baru saja Eva menutup pintu kamarnya, Ray sudah memeluknya, tangannya asik meremas tetek di balik kemeja Eva, perlahan dibukanya satu persatu kancing kemeja Eva, lalu celananya. Ray juga melepas bajunya, ia meneguk ludahnya, sudah sering ia melakukan hal ini dengan Eva, namun setiap kali ia melihat tubuh Eva selalu saja ia mengaguminya.Dengan cepat dibukanya BH dan CD mungil itu, juga kolornya sendiri, dibaringkannya Eva ke ranjang. Dengan lembut ia mencium bibir Eva, mereka saling berciuman dengan panasnya, tangan Eva meraih kont01 Ray, membelai dan mengocoknya pelan. Ray mulai meremasi tetek Eva, ukurannya cukup besar, masih sangat kencang, dengan pentil yang kemerahan, pentil tersebut dikelilingi lingkaran coklat. Ray mulai menghisap dan mejilati pentil Eva, membuat Eva kegelian. Perlahan pentil tersebut mekar dan mengacung, Ray suka sekali memainkannya di mulutnya.

Puas dengan tetek dan pentil Eva, Ray perlahan turun, Eva menggoda Ray dengan menutup m3meknya dengan tangannya, Ray segera menyingkirkan tangan tersebut dan melebarkan kaki Eva, mengangkangkannya selebar mungkun. Ray diam menikmati memandang m3mek Eva yang dihiasi jembut yang agak lebat. Belahan m3meknya nampak rapat. Perlahan Ray menggosokkan jarinya, naik turun ke belahan m3mek Eva, belahan itu perlahan melebar, dengan jarinya dilebarkan belahan tersebut, nampak indah sekali bagian dalam m3mek Eva, kemerahan, Ray mendekatkan mulutnya, tercium aroma wangi yang mengundang, bibirnya menciumi seluruh permukaan m3mek Eva, lalu lidahnya mulai menjilati, sampai basah m3mek tersebut, setelah itu Ray mulai memainkan lidahnya pada it1l Eva yang agak besar, terasa bagai biji kacang pada lidahnya, ke sana – kemari it1l itu bergoyang, Ray lama memainkan lidahnya, sesekali jarinya menyodoki lobang m3mek Eva. Eva mendesah sesekali menggoyangkan pinggulnya, tangannya sesekali menjambak pelan rambut Ray.

”Auwww.....teruuusss.....”
”Yessss....Ughhhh...Raaaayyyy....”
”Ssshhhh....Ooooohhhh....”

Ray merasakan Eva menarik agak keras rambutnya, sambil mengejan, dan mendesah agak panjang, Eva mendapatkan orgasmenya. Ray segera menghentikan aksinya. Gantian ia duduk bersandar, membuka kakinya, Eva segera menghampiri. Tangannya menggenggam kont01 Ray yang cukup besar, lidahnya mulai menjilati dengan lembut, memainkan kepala kont01 dan lobang pipis Ray. Ray hanya bisa merem – melek merasakan sensasi tersebut. Batang kont01nya berdenyut saat lidah Eva menggelitik dan menjilati dengan sensual. Akhirnya mulut Eva mulai menelan dan memompa kont01 Ray, dihisap dan diemut dengan kuat, sesekali ia menelan kont01 Ray semaksimal mungkin, lidahnya ikut menjilati. Biji peler Ray juga turut dimanja, diremas – remas dengan tangannya yang halus, sesekali mulutnya menghisap biji tersebut. Terasa keras sekali Ray ngaceng.

Puas dihisapi, Ray segera memberi tanda. Eva kembali berbaring, melebarkan kakinya, Ray segera mengarahkan kont01nya, nampak lobang kemerahan yang pasrahmenunggu disodok. Blesss, kont01 Ray mulai menerobos, terasa masih sempit dan kuat cengkramannya memel Eva. Ray mulai bergerak memompa kont01nya, naik turun, Eva mengaitkan tangannya ke belakang leher Ray, memeluknya. Ray terus memompakan kont01nya, tidak tergesa – gesa, menikmati kehangatan m3mek Eva. Mulutnya mulai menciumi Eva, dijilatnya leher dan kuping Eva,membuat Eva makin terangsang. Sesekali pinggulnya bergoyang mengikuti pompaan Ray. Teteknya tak luput dari sasaran,tanganRay meremasnya kuat, sesekali jarinya menjepit pentilnya, membuat pentil tersebut makin mengacung. Ray mulai mempercepat pompaannya, Eva makin melebarkan kakinya. Kali ini Ray memompa secepat mungkin, ditekannya sampai maksimal. Eva makin tenggelam dalam rasa nikmat yang diberikan oleh kont01 Ray.

”Tekeeeennn.....Oooohhhh....Gilaaaaa.....”
”Raaayy....jangan....dipelaaanniinnnn....”
”Ooohhh....Ahhhh...Yessss.....”

Kembali Eva mengejang, kakinya agak kuat mengait pantat Ray, orgasme kembali. Ray tidak menghentikan pompaannya, malah makin menggila. Ray memandang wajah Eva, ekspresinya sangat menaikkan nafsunya, suara desahan Eva mengimbangi wajahnya yang puas dengan mata yang merem melek menahan enaknya sodokan kont01 Ray. Sungguh, Ray amat terangsang melihatnya. Ray kembali menciumi Eva, tangan Eva terangkat, Ray menjilati bagian keteknya, ketek Eva bersih dan harum. Akhirnya Ray merasakan denyutan enak yang sudah ia kenal, direndahkannya tubuhnya, erat sekali ia peluk Eva, dan seiring ia menekan kont01nya sedalam mungkin, pejunya memancar kuat, membuat Eva sedikit bergetar. Ray lunglai lemas, diam sebentar, lalu ia cabut kont01nya, berbaring di sampng Eva, memandang Eva sambil nyengir puas.

Setelahnya Ray dan Eva hanya berbaring telanjang, bermalasan sambil mengobrol, memang Ray tidak terlalu memforsir setiap berhubungan dengan Eva, toh setiap saat bisa.

Sorenya Ray sudah kembali ke tongkrongannya. Asik becanda sambil sesekali godain cewek yang lewat. Sekitar jam 7 kurang Ray memutuskan pulang, sesekali pulang agak siang. Ray pamit, temannya sempat melarang, tapi akhirnya Ray cabut. Biasanya mama sudah pulang, tapi bisa juga belum tergantung kerjaan. Sampai di rumah Ray melihat ada motor di parkir...siapa lagi....paling si Dina sama entah cowoknya yang mana. Ray mengeluarkan kunci dan memasukkan kunci, nggak bisa, ada kunci di sangkutkan di belakangnya. Dengan menggerutu Ray memutar ke samping, membuka pintu samping. Baru juga Ray masuk terdengar suara desahan dan rintihan, penasaran Ray mencari arah suara, dari kamar kakaknya. Dengan hati – hati Ray mendekat, sialan....pintunya nggak ditutup benar lagi. Nggak takut ketahuan apa..? Paling tadi si Dina sudah nelepon mama, nanya kapan mama pulang. Dengan berdebar Ray mengintip melalui celah yang terbuka. Kakaknya berbaring dengan melebarkan kakinya, si lelaki nampak di atas tubuhnya, asik memompa kakaknya. Ray tahu kakaknya memang cantik dan seksi, namun melihatnya telanjang saat ini sungguh membuat Ray terpesona. Tetek kakaknya yang besar nampak mengkilap oleh keringat, bergoyang seiring pompaan si lelaki, belum lagi rintihannya. Agak lama Ray mulai jelas kalau kont01 si lelaki memakai sarung alias kondom. Tanpa diminta kont01 Ray pun mengaceng. Hampir 2 menit Ray melihat adegan itu, akhirnya diiringi lenguhan nikmat si lelaki, merekapun diam lemas tak bergerak. Ray buru – buru menghindar, buka kulkas, ambil botol air, lalu duduk di meja makan. Tak lama nampak kakaknya dan lelaki itu keluar. Si lelaki nampak salah tingkah, kakaknya santai saja.

”Eh si jelek, udah lama pulang...?”
”Belum...he reseh, lain kali kuncinya jangan disangkutin dong, susah mau masuk.”
”Itu bisa masuk...lewat pintu samping nggak masalah kan.”

Dina menggandeng tangan teman lelakinya ke depan, membuka pintu, lalu mengobrol sebentar di sana. Ray masih duduk meminum air esnya....kampret...., cuek amat si Dina. Ray lalu menaruh botolnya ke kulkas, masuk ke kamar. Di kamar ia membuka lemari, diambilnya kaleng uang simpanannya, hasil malak. Dibuka dompetnya, dikeluarkan beberapa lembar, dilempar ke kaleng. Sedikit lagi ia bisa membeli motor.Nggak perlu baru....daripada naik angkot sama bis melulu. Setelah menyimpan kembali, ia pun merebahkan diri di kasur, memejamkan mata, terbayang tubuh kakaknya yang merangsang. Entah berapa lama ia terbuai dalam lamunan erotisnya, akhirnya ia tertidur.

Ray merasakan ada yang menguncang – guncang tubuhnya....siapa sih...nggak tahu orang ngantuk, dengan malas Ray membuka sebelah matanya, masih belum jelas...oh mamanya, perlahan Ray membuka matanya.

”Hei..., sudah makan belum..? Bangun deh, makan dulu, tadi mama beli di luar. Mama tadi pas mau pulang nelepon Dina, katanya kamu sudah pulang dan lagi tidur.”

Mama lalau meninggalkan kamar, dengan malas aku menggeliat, melirik jam tangan, 10 kurang, ambil HP, SMS Eva sebentar, lalu bangun ke kamar mandi, mandi dulu gerah sama lengket. Setelah kelar dan berpakaian, mama sudah menunggu, tadi sudah duluan. Si Dina lagi nonton TV. Aku segera duduk dan makan, sementara mama menemani sekalian mengajak ngobrol...

”Ray...kamu nggak bosan...?”
”Bosan kenapa ma...?”
”Ya...kuliah kagak mau, seharian cuma kelayapan, apa nggak ada kegiatan lain...?”
”Paling nggak bener ma...,” si Dina ikut nimbrung. Aku cuek saja.
”Hush...kamu diam saja Din, mama lagi ngomong sama adik kamu. Ray benar kamu nggak mau kuliah...?”
”Duh...ngapain si nanya itu lagi ma...? Jawabannya kan juga sama, mama sudah tahu.”
”Ya, namanya orangtua, tentu mau anaknya maju Ray.”
”Nggak...nggak deh ma, males...titik.”

Mama Cuma medesah nafas saja, kecewa, juga tahu percuma lagi ngomong. Diam sesaat, lalu melanjutkan...

”Kalau kamu nggak mau ya sudah. Ngg...kamu mau coba kerja...belajar saja dulu...kalau kamu mau nanti mama coba tanya – tanya teman mama.”

Belum juga menjawab, si Dina ngoceh lagi. Aku jadi kesal dan membalas...

”Si jelek ini ? Kerja...? Jangan deh ma, entar malu – maluin mama sama yang masukkin, bisa bangkrut tuh Perusahaan kalau pegawainya kayak si jelek ini.”
”Din...loe bisa diam nggak...? Emangnya loe bener apa...? Bisanya nyela gue doang, reseh.”

Mama jadi kesal, segera menengahi....

”Sudah...sudah...kalian berdua, sudah pada besar juga nggak ada akurnya. Sudah, sekarang mama mau tidur, capek. Awas kalau ribut lagi. Kamu, selesaikan makanmu, terus beresin mejanya.”

Mama segera bangun, menuju kamarnya. Dini mematikan TV, sambil ketawa ngeselin, juga masuk kamar.Aku selesaikan makan, lalu membereskan meja. Setelah memeriksa pintu dan jendela, duduk santai merokok. Ada – ada saja mama. Kerja...? Kayak aku begini, jadi apa...? Nikmati saja hidup yang sekarang, toh uang aku nggak susah. Masih lama Ray duduk, sebelum akhirnya mematikan lampu dan menuju kamar.

Di kamar aku coba memejamkan mata, sial...sulit sekali...hampir sejam sudah, jam sudah hampir jam 12 lewat. SMS terakhir dari Eva sudah lama sekali. Gelisah banget, ke sini salah, posisi gitu salah, akhirnya aku berbaring saja. Tiba – tiba bayangan Dina kembali bermain di benakku. Sial...kenapa aku ngebayangi kakakku. Makin kucoba melupakan, makin kuat bayangan tubuh Dina yang telanjang dan sedang mendesah saat dient*t sama teman lakinya itu memenuhi pikiranku. Nafsu akhirnya memang dapat meruntuhkan akal sehat. Sebejat – bejatnya Ray, namun tak pernah sebelumnya ia membayangkan untuk menjamah tubuh kakaknya Dina. Sebagai remaja pria tentu saja ia tahu kakaknya cantik dan seksi, walau tak akrab, tapi namanya buat khayalan tetap dong. Sering juga ia membayangkan kakaknya saat bermartubasi dulu, tapi hanya sebatas itu. Ya, sebagai lelaki di rumah itu, mengiringi proses dia besar, mama dan kakaknya sering menjadi bahan khayalan kala bermasturbasi. Namun hari ini melihat kakaknya bersetubuh.....Perlahan Ray bangkit, Ray sebagai penghuni rumah paham, dari tiga kamar di rumah ini, semuanya tak pernah dikunci saat tidur. Pintu kamar di dalam ada kunci selotnya, itu rasanya mat jarang digunakan. Mamanya juga seperti biasa tidur pulas, besok harus berangkat kerja di pagi hari. Ray keluar dari kamar, diam sebentar menganalisa situasi, sunyi dan tenang. Perlahan mendekat, sesaat...hanya sesaat sempat timbul keraguan di hatinya. Namun dengan cepat keraguan itu sirna, rasa penasaran dan nafsu sudah terlalu kuat mencengkramnya. Pelan sekali ia membuka pintu kamar kakaknya. Ditutupnya pintu itu. Kamar kakanya memang tak memiliki kunci, sudah lama hilang. Sebagai gantinya dipasang selot, Ray menyelot pintu kamar perlahan. Nampak Dina sedang tertidur pulas, memakai daster yang agak ketat dan mini. Bagian bawahnya tersingkap, Dina tidur dengan kaki agak melebar, memperlihatkan bagian dalam paha dan selangkangannya. Ray duduk di pinggir ranjang. Matanya nampak buas memandang daerah selangkangan kakaknya. Putih mulus, CD-nya nampak tipis sekali, nampak samar – samar bayangan jembutnya. Lama Ray memandang, kont01nya sudah mengeras sekali. Sekali lagi Ray ragu. Di saat Ray ragu Dina merubah posisi tidurnya, makin tersingkaplah bagian bawah dasternya, dan Ray makin jelas saja melihat CD tersebut, nampak beberapa helai jembut menyembul keluar. Ah....peduli amat, sekalian balasan loe sering nyelain gue.

Ray mulai bergerak, tangannya mulai mengelus bagian luar CD kakaknya, tebal terasa, satu tangannya perlahan meremas bagian atas daster kakaknya, terasa keras dan empuk tetek Dina. Akhirnya Ray mendekap mulut kakaknya, tidak dangan kuat, tapi cukup meyakinkan Ray, kalau kakaknya bersuara tak akan terdengar, Ray segera menindih Dina, satu tangannya beraksi di bawah sana, di balik CD Dina. Tanpa ragu Ray memainkan jarinya, terasa jembut yang lebat sekali, tadi waktu kakaknya dient*t sama teman lakinya, kurang terlihat jelas. Perlahan jarinya mulai memainkan belahan m3mek Dina. Dina yang tertidur awalnya tidak merasakan apapun, tapi akhirnya merasakan agak sulit bernafas. Lagipula ia merasakan ada yang menindihnya, juga sedang memainkan jarinya di m3meknya, rasanya enak juga...tapi....lho...siapa...? Dengan spontan Dina membuka matanya...astaga...tak salahkah matanya melihat...Tampak wajah Ray yang dipenuhi nafsu. Mata Ray menatap matanya buas. Dina berusaha memberontak, tapi sulit, Ray menindihnya sedemikian rupa, tangannya terjepit, kakinya juga diapit kaki Ray. Ray mendekatkan mulutnya ke kuping Dina, berbisik pelan namun sangat jelas.

”Loe diam saja Din....nggak usah bersuara. Salah loe sendiri tadi ngent*t pintunya nggak ditutup. Gue jadi nafsu ngelihatnya. Juga balasan loe sering nyelain gue.”

Dina masih berusaha memberontak, tapi tenaganya kalah sama Ray, tangan Ray masih membekap mulutnya, satu tangan yang lain sedang mengaduk m3meknya. Dina merasakan jari Ray mulai memainkan belahan m3meknya. Menggosok m3meknya dengan kuat dan tergesa, perlahan belahannya mulai mekar, dengan kakinya Ray menggeser sedikit kaki Dina, melebarkan sedikit, terasa jari Ray mulai menyodok m3meknya, rada sakit karena masih kering, tapi lama – lama seiring jari Ray yang keluar masuk, m3mek Dina mulai basah. Lama Ray memainkan jarinya, Dina mulai merasa nyaman, bahkan sesekali pinggulnya ikut bergoyang. Dina mencoba bersuara, nggak terlalu jelas, masih ada tanga Ray di mulutnya. Ray menyadarinya, ia kembali berbisik ke Dina.

”Gue lepasin, tapi loe jangan teriak.”

Dina mengambil nafas sejenak. Ray masih memandangnya, bersiap –siap, takut Dina berteriak. Dina mulai bicar agak berbisik.

”Loe ngapain sih ? Sudah gila ya ? Gue kan kakak loe ?”
”Iya, gue tahu, mau salah apa nggak sebodoh amat. Kalau tadi loe ngeweknya nutup pintu, gue nggak bakalan lihat. Karena gue lihat, makanya gue nafsu, loe musti ngerti juga, gue nafsu gara – gara loe.”
”Tapi gue kakak loe. Nggak bisa dong loe giniin gue. ”
”Iya, mulut loe nolak, tapi m3mek loe nggak, sekarang saja sudah becek.”
”Iyalah, loe mainin ama loe sodokin ama jari loe, terang dong m3mek gue basah...”

Sebenarnya Dina memang sudah merasa amat terangsang, namun sedikitnya ia masih merasa hal ini salah besar. Ray kembali ngomong.

”Din, sekali ini saja deh, gue benar – benar kagak tahan, please....”
”Ray, ngaco ah.....”
”Ayolah, please...”
”Sekali ini saja ya, itu juga karena m3mek gue sudah loe mainin, mau nggak mau gue jadi horny deh, huh lain kali kalau gue ngewek, emang musti tutup pintu. Loe gayanya aja BeTe ama gue, nggak tahunya ngaceng juga ngintipin gue main.”

Ray nggak menjawab, sebagai jawaban ia mulai meremasi tetek Dina, padat dan besar, terasa penuh di tangan, kurang puas terhalang daster, dibukanya dengan tergesa daster Dina. Dilihatnya ketek kakaknya bersih, terawat. Cuma sedikit bulu halus tumbuh, masih jarang dan belum perlu cibersihkan. Tetek Dina sungguh mempesona, memang beda dengan Eva, Dina lebih besar dan agak sedikit ke bawah, bukan kendor, tapi proposional antara besarnya dan tingginya. Pentilnya kecoklatan, besar dan mengacung saat ini, Ray dengan rakus mulai menghisapi pentil Dina, membuat Dina agak kewalahan. Dirasakannya nikmat yang menjalar saat pentilnya dihisap dan ditarik –tarik lembut oleh mulut Ray. Lama Ray memainkan tetek dan pentilnya, sambil tangannya tetap ngobok m3meknya. Akhirnya Ray menuju selangkangan kakanya. CD- nya masih dipakai, Ray membiarkan, tangannya mulai meremas dan memainkan CD tersebut, memang tebal rasanya m3mek di baliknya. Lalu dengan berdebar, ditariknya CD kakaknya. Ray terpesona melihat jembut Dina yang lebat dan hitam, amat indah serasi menghiasi m3meknya. Ray menaruh jarinya di atas m3mek tersebut, mulai membelai dan meremas jembut Dina. Lalu Ray mendekatkan mulutnya, mulai menciumi m3mek Dina, aroma yang enak tercium dari selangkangan kakaknya. Tapi Dina reseh, kakinya malah masih dirapatkan. Dengan agak kasar, Ray melebarkannya. Ray mulai menciumi m3mek kakaknya, Dina agak risih karenanya, dengan pria lain tak masalah, tapi ini Ray, adiknya yang sedang menciumi m3meknya. Baru juga Ray mulai menjilati it1lnya, tangan Dina menahan kepalanya.

”Ray kalau loe mau, sudah langsung saja, nggak usah acara jilatinlah, segala dimainin, cepetan deh loe masukin kont01 loe, ingat sekali ini saja.”
”Ngerasain dulu dong, pemanasan....”
”Kalau mau cepat, kalau nggak ya sudah, loe keluar dari kamar gue.”

Ray akhirnya dengan enggan menghentikan aksinya, bersiap membuka celananya nggak mau Dina berubah pikiran. Bukan apa – apa, pasti nyamannya beda kalau posisinya Ray melakukannya dengan memaksa atau dengan cara kasar. Di satu sisi Dina memang merasa dia terlanjur terangsang saat adiknya memainkan m3meknya, tanggung, kalau dibawa tidur cuma bikin pusing kepala. Di sisi lain dia merasa risih m3meknya dimainin sama mulut Ray. Lagian dia berpikir, saat Ray buka celana dia akan mencela Ray, paling barangnya standart saja, lagian anak kayak gini, nafsu duluan, baru nempel juga kelepek – kelepek, bisa puas dia dapat bahan baru buat nyelain Ray. Ray berdiri, mulai menarik celana pendeknya, kolornya masih terpasang....kelamaan pikir Dina, bukan sekalian tadi pas nurunin celana, matanya memandang tonjolan di balik kolor Ray, agak terdiam melihat besarnya tonjolan itu, namun Dina belum yakin isinya besar. Ray melempar celana pendeknya, tangannya perlahan memelorotkan kolornya, sedikit...sedikit...tuing...kont01nya yang sudah ngaceng terbebas dan kini mengacung dengan bebasnya. Ray masih sibuk menurunkan kolornya, tak melihat ekspresi wajah kakaknya. Gila...pikir Dina, matanya melotot, si tolol ini punya barang segede ini, apa rasanya di m3mek gue. Rini agak bergidik dan juga terangsang melihatnya. Tapi ia tetap merasa harus jual mahal. Ray mendekat sedikit ke arah Dina, mencoba memancing di air keruh.

”Ituin dong...!”
”Ituin apaan, nggak jelas deh loe.”
”Heheh...isepin.”
”Ogah...loe minta saja sama cewek loe. Kalau loe nggak punya cewek, ya sama pecun kek. Buruan deh loe masukkin, gue sudah ngantuk nih. Ingat sekali in saja ya. Nggak ada besok atau lain kali. Gawat nih, mulai besok gue musti kunci pintu kamar.”

Ray nggak banyak komentar lagi, segera menindih tubuh telanjang Dina, Dina mau nggak mau melebarkan kakinya, gila kont01 gede dan panjang gitu, bisa rontok kalau nggak gue ngangkang yang lebar. Ray mulai konsentrasi, mengarahkan kont01nya, sedikit meleset dan melenceng keluar, akhirnya...bless, Dina agak mengernyit dan menjerit kecil, belum biasa seperi Eva. Ray menikmati dulu adegan ini, sementara Dina merasakan lobang m3meknya sesak, dipenuhi kont01 Ray. Ray lalu mulai bergerak, pertama agak sulit. Lama – lama seiring pelumas dari m3mek kakaknya,Ray merasakan nikmat sekali, ditariknya kont01nya sejauh mungkin, sampai kepalanya, saat menekan ditekannya sampai dalam, bikin Dina kelojotan. Dina sendiri merasakan nikmat teramat sangat mengaliri m3meknya menjalar ke seluruh tubuhnya, setiap sodokan kont01 dari sang adik terasa menggelitik dan membuat terbang tubuhnya, kakinya makin ia kangkangkan, mulutnya mendesah. Awalnya Dina melengos saat Ray mencari bibirnya, gila apa ciuman bibir sama si jelek ini, tapi desakan nikmat di m3meknya membuat ia terlena sekali, perlahan bibirnya mulai menerima ciuman penuh birahi dari adiknya, ia mulai membalas, saling beradu lidah mereka, Dina mulai menyedot lidah Ray dengan mulutnya, membuat Ray kehilangan kontrol, Makin kuat dan cepat sodokannya.Dina melepas ciumannya, mengambil nafas dan berdesah...

”Awww....giillaaaa.....Raaayyy...”
”Noooo.....Ooohhh...Awwww.....”
”SSShhhhh....Aghhhh....Ampuuunnnn”

Tangan Dina mencengkram punggung Ray kuat, kukunya menancap dan mencakar punggung Ray, Dina benar – benar kelojotan, matanya merem melek, pinggulnya bergoyang, tubuhnya mengejang, orgasme pertama kalinya yang hebat yang didapatnya dari Ray. Hal yag tak pernah ia bayangkan, namun kini nyata dan ia menikmatinya. Selalu ada rasa lepas dan lemas ketika orgasme, namun si gila ini malah terus memompa kont01nya, bukannya makin pelan malah makin kencang, Dina benar – benar kelojotan, merasakan hantaman kenikmatan yang bertubi – tubi. Mulutnya mendesah dan mengerang. Tiba – tiba Ray menghentikan pompaannya, kenapa..? Dina sedang enak, mau protes...

Ray dengan cepat segera mengambil posisi di samping tubuh kakaknya, tangannya mengangkat dan memegang satu kaki Dina, nampak m3mek yang memerah itu, Ray dengan cepat memasukkan kont01nya, menyamping. Dina mengaitkan satu tangannya di belakang leher Ray. Ray terangsang melihat ketek mulus dan sedikit ditumbuji bulu halus Dina, ia segera menciumi dan menjilatinya, Dina kegelian, sementara kont01 Ray masih saja dengan ganasnya menghajar m3mek Dina.Tangannya juga tak mau diam, mlai meremas dengan sangat kuat sekali tetek Dina, terkadang menggoyangkannya. Ampun....sekarang tangan si gila ini malah turun ke selangkangan...mulai memainkan it1l gue pakai jarinya, luar biasa, kenikmatan yang mengalir tanpa jeda, membuat lemas tubuh ini.Dina agak menaikkan kepalanya, melihat kont01 yang besar itu menyodok m3meknya, tak ayal dirinya makin terbakar nafsu, desahannya makin cepat....dan kembali ia orgasme, Dina tak tahu apa yang terjadi, apa memang Ray begitu ahlinya atau juga karena hal yang seharusnya tak boleh dilakukan malah makin membuat rasa dan gairah meningkat atau kombinasi keduanya, peduli amat...yang penting saat ini ia sangat puas dan amat sangat menikmati saat m3meknya disodok, dan it1lnya dimainin sama adiknya. Ray kembali menciumnya, panas dan bergairah, sementara sodokannya tetap dan konstant. Dina melepas ciumannya, mendekatkan mulutnya ke kuping adiknya, dijilatnya lembut, Ray agak bergidik dan makin nafsu, lalu Dina berbisik, apapun yang dibisikkan, dalam situasi seperti ini terdengarnya selalu erotis di kuping Ray...

”Gila...kont01 loe hebat juga...nggak nyangka gue...loe entar kalau sudah mau keluar, jangan loe cabut, keluarin saja di m3mek gue, nggak kenapa...aman.”

Ray makin cepat menyodok, kembali asik memainkan pentil Dina dengan satu tangannya, tangan yang lain masih setia menggarap it1l kakaknya. Akhirnya Ray merasakan sudah dekat, dan Dina juga merasakan dia mau keluar.....lagi, tanpa dikomando, keduanya kembali berciuman.....dan Crooottt...croottt....peju Ray membanjiri m3mek Dina. Dina mengejang, Ray diam lemas dan puas. Lama mereka terdiam, keringat membasahi tubuh mereka. Akhirnya Ray mencabut kont01nya, diam berbaring, lemas dan puaaasss banget.

”Jadi gimana...? Sudah cukup kan penasaran loe...?”
”I...iya Din. Gila loe benar – benar nafsuin...”
”Hei...hei...sopan dikit dong, gue ini masih kakak loe...”
”Tetap saja gue doyan....”
”Nggak bisa...pokoknya tetap satu kali ini saja...itu juga karena gue kasihan loe, bantuin hilangin ngaceng sama penasaran loe...”
”Ya Din....”
”Tuh kan, tadi perjanjiannya kan seperti itu, nggak ada lain kali. Kali ini gue kasih karena loe penasaran........Tapi.......buat lain kali berikutnya gue sukarela, loe boleh kapan saja main sama gue, bener...”
”Serius loe Din...?”
”Loe nggak mau...? Gila....terlarang apa nggak sebodoh amat......, sia – sia banget kalau gue nolak kont01 kayak punya loe...”
”Hahaha...doyan juga loe...dasar.”

Dan setelah stamina mereka pulih, ya...tentu saja mereka melanjutkannya. Dan Diina juga tak menolak untuk menservis kont01 Ray dengan mulutnya. Sebuah tabir telah terbuka, awal hubungan terlarang sekaligus penuh gairah baru saja dimulai.

Pagi itu Ray bangun agak pagi, seperti biasa rumah sepi. Ray duduk – duduk, kali ini ia merokok sambil ngopi. Si Dina tahu ke mana, kuliah apa nggak, kagak paham dia. Yang dia paham semalam ia baru saja melakukan gituan sama Dina. Sangat menikmatinya. Tadinya Ray berpikir, sebodoh amat, mau Dina marah atau tidak, yang pasti dia tahu Dina nggak bakalan mengadu ke mamanya. Termyata, malah sebaliknya, si Dina malah doyan juga, malah sekarang memberikan lampu hijau.Mana teteknya gede banget, m3meknya….duh…ngaceng lagi, padahal semalam sudah 3 kali. Juga si Dina akhirnya malah doyan banget isepin kont01 gue. Ray mematikan rokoknya, mandi…sambil main sabun.

Siang itu seperti biasa Ray sudah asik dengan kelompoknya. Kelompoknya ini sebenarnya bebas, siapa saja yang merasa senasib, silahkan bergabung. Walau banyak yang ngumpul, tapi masing – masing punya CS tersendiri, Ray dengan Panjul dan Deden. Deden sendiri anak golongan menengah, Cuma jarang pulang, ribut melulu sama bapaknya, terlalu banyak memaksakan keinginan. Panjul dari golongan ke bawah, anak paling besar, adiknya banyak, dari SMP sudah mandiri, bahkan sekarang kost, malas pulang, kost dekat mall sini, Ray sering ke sana, tidur – tiduran atau juga nginap. Kostnya si panjul di kawasan padat, orangnya asik semua, dan tak terlalu eduliin urusan orang. Memang mereka sering mabuk, malak, ribut, tapi buat yang namanya serbuk, nggak. Nggak ada aturan atau larangan, tetapi sejauh ini nggak ada yang terlibat nyabu atau mutaw. Dulunya Ray nggak satu sekolah sama mereka, bahkan sering tawuran, terus karena sudah hapal muka masing – masing, kalau ketemu di bis jadi akrab. Iyalah, tawuran kalau lagi rame – rame, kalau ketemu biasa, sendiri – sendiri, nggak bakalan deh tawuran. Mulai deh sering ngobrol, ngerokok bareng, akhirnya mulai akrab, lama – lama ngerasa klop dan akrab. Sekarang Ray dan Deden lagi tidur – tiduran di tempat Panjul, baru kelar nyari duit, agak lumayan, walau tak sebesar kemarin. Hari ini Ray nggak jemput Eva, tadi Eva SMS, ada kegiatan apa gitu di kampusnya, Ray kagak begitu paham. HP- Ray bunyi lagi, Ray ngebaca SMS, dari Sarah. Ray membalas agak malas.

Sarah itu anak yang suka nongkrong sama mereka. Sama, sudah lulus SMA, apa kuliah atau kerja Ray juga tak paham. Sudah lama Sarah ngejar – ngejar Ray. Tapi Ray nggak terlalu nanggapin. Eva sendiri pernah sekali ngebaca SMS Sarah, cemburu, tapi Ray meyakinkan, dia nggak ada hubungan apapun. Memang terkadang lelaki seperti Ray sulit dipahami, seperti mempunyai magnet bagi kaum hawa. Padahal bandel ya...

Ray lagi asik mendengar lagu slow rock dari tape abal - abal Panjul. Tiduran sambil merokok, Panjul sama Deden asik ngobrol sambil ngopi. Terdengar pintu diketuk. Panjul membuka pintu, tak lama Sarah masuk...tuh kan, salah gue tadi balas SMS bilang lagi di sini pikir Ray. Ray cuek, masih asik dengan santainya dan juga dengan lagu dari tape. Panjul dan Deden tetap asik ngobrol, agak di pojok, biar tak mengganggu. Sarah duduk di pinggiran kasur, kasur Panjul cuma kasur digelar di atas karpet tipis. Diam, sesekali melirik ke Ray. Pikirannya mengembara, sulit benar membuat lelaki ini tertarik. Padahal nggak sedikit lelaki yang mau jadi pacarku, tapi lelaki ini begitu seenaknya dan nggak peduli sama aku..Sarah membatin. Akhirnya ia membuka suara.

”Loe sudah makan Ray...?”
”Hah...Apaan...?”
”Sudah makan...?”
”Belum...nanti saja.”
”Bagi rokoknya dong...”
”Ambil saja, tapi loe tahu kan rokok gue bukan rokok putih yang biasa loe hisap.”
”Nggak apa, rokok gue habis...”
“Ya sudah…ambil saja.”

Ray mengamati Sarah yang sedang menyalakan rokok. Sebenarnya anak ini manis dan menarik. Ray nggak akan mengomentari kebiasaannya merokok, nggak ada hubungannya. Itu hak masing – masing Perempuan yang merokok bukan berarti karakternya jelek, kadang yang kelihatan alim, malah sebenarnya lebih rusak. Itu masalah pribadi. Ray sendiri nggak begitu paham latar belakang Sarah, tiba – tiba saja gabung di tongkrongan, karena kenal sama salah satu anak sini, dari yang dia dengar dari anak – anak, katanya sih anak pengusaha hebat, cuma karena Sarah nggak gitu akur sama bapaknya karena sesuatu hal makanya ia mencari pelarian. Ya, memang masih misterius sih asal – usul Sarah, tapi bukan urusannya. Ray bukannya munafik, sebagai wanita, Sarah memang cantik dan menarik, sebelas duabelas lah sama Eva. Tapi Ray buat urusan pacaran sama Eva, termasuk tipe setia. Baginya Eva adalah segalanya, dunianya, pelitanya, yang bisa mengerti dan memahaminya. Ray nggak mau memberi harapan kosong pada Sarah. Sarah nampak menghembuskan asap rokok, sadar diperhatikan Ray...

”Kenapa....ada kotoran di muka gue..?”
”Nggak...ngeliatin saja, takut loe batuk, rokok gue kan berat.”
”Rokok yang mana...? Yang ini apa yang coklat gede...?”
”Ngaco ah loe...”

Kembali diam, cuma suara musik yang terdengar, Panjul sama Deden masih seru dengan obrolan mereka, biasa paling ngebahas cewek. Ray mematikan rokoknya, meminum kopi jatahnya, lalu duduk. Sarah kembali memandangnya...

”Ray...temani gue yuk, lapar nih, pleaseee....”
“Hmmm…oke deh, makan apaan..? Traktir ya.”
”Terserah loe deh. Beres.”
”Tuh bocah dua diajak nggak...?”
”Kalau mau, ya ikut saja.”

Tapi Panjul dan Deden menolak, mungkin nggak mau ganggu, tapi tentu saja nggak nolak kalau dibeliin bungkusan, malah berharap. Akhirnya kami pergi. Ray mau karena dia mulai lapar dan juga memang nggak ada kegiatan. Sarah mentraktir makan Ayam... (sori takut dikira promosi ) di dalam mall. Kini mereka asik menyantap makanan sambil ngobrol.

”Ray..malam minggu ada kegiatan nggak...? Main ke rumah gue yuk...”
“Wah…sori Sar, gue belum tahu sih…, tapi kayaknya nggak bisa, mau pergi sama Eva.”
“Pacar loe…? Kenalin dong…”
“Eng….maybe next time…”
“Promise…?”
“Nggak lah yauw….”
“Geblek…..”

Cukup lama kita ngobrol, walaupun sudah kelar makan, rada sepi sih, lagian pegawainya juga sudah pada hapal tampang kita, biasa sering nilepin asbak hehehe. Akhirnya kita bangun, pegawai membersihkan piring sambil melihat apakah asbak masih ada atau tidak. Sarah kembali ke counter beliin paket yang dibungkus buat Panjul sama Deden.

Tak lama kita sudah balik, diketok nggak dibuka, untung nggak dikunci, 2 bocah itu sedang tidur dengan mesranya. Cepat sekali bangunnya begitu cium bau ayam. Kelar nungguin 2 anak rakus itu makan, akhirnya kita sepakat main billiard, tempat biasa langganan, nggak jauh dari sini, jalan kaki sebentaran doang. Nggak jago – jago amat, just for fun saja.

Nyari meja yang agak sepi di bagian pojok., cuma kita bertiga yang main, Sarah duduk nungguin, di meja sebelah, ada 4 anak tanggung juga lagi main, anak luar, baru pernah lihat. Rada reseh, 4 orang. Tahu main di daerah orang, gayanya nyebelin, berisik, bacotnya kayak di pasar saja, bahkan mulai godain Sarah. Panjul mulai gerah. Aku menahannya, main saja, biarin cuma godain. Mungkin merasa mereka ber 4, lebih banyak, juga kita diam, makin kurang ajar. Mulai dekat – dekat Sarah, terus nyolek – nyolek, Sarah risih, menepis, kagak jera juga malah makin iseng, temannya satu oang ikutan juga, It’s Showtime…..

“Cing…loe sopan dikit dong main di wilayah orang…”

Selesai ngomong, bogem melayang, kejengkang deh tuh anak nggak tahu diri, temannya kaget, menyerbu, Panjul sama Deden, langsung beraksi. Bukan lawan sepadan, sebentar saja ke 4 reseh itu bergeletakan di lantai. Terdengar suara ribut –ribut….anak – anak datang…

“Kenapa Ray…? Den…?”
“Biasa…lupa tempat, main di rumah orang tapi ngelunjak.”
”Loe pada nggak kenapa...?”
”Sip...bawa keluar deh, enek ngelihatnya...eh tanya dulu tuh sama si Rini, berapa bonnya nih cecunguk, ambil dari dompetnya, bayar, kasihan nanti si Rini nombok.”

Anak – anak segera mengangkat ke 4 onggokkan yang malang itu, yang kini stress berat, menanyakan pada Rini, yang bertugas di meja billiard mereka, lalu mengambil uang mereka, buat bayar. Tak ada kerusakan. Sekarang terserah anak – anak deh. Panjul sama Deden ikutan, belum puas olah raga. Aku membayar bon dulu, sudah malas mau main.

”Ray...makasih ya...”
”Nggak usahlah, sudah sepantasnya kok Sar. Loe masih mau di mari, gue mau ke depan nih.”
”Nggak...ikut.”

Akhirnya setelah selingan olah raga tadi sore, malamnya, kembali kita nongkrong, gitaran, ngobrol, nyawer, biasa ngoplos. Sarah sudah pulang. Jam 11 pulang, agak goyang, tadi nebeng dibonceng Dedi, yang searah. Ray mencari kunci pintu di celananya, masuk dan mengunci pintu. Sudah hilang pengaruh minumannya. Sepi, sudah pada tidur, besok Sabtu, mama libur. Perlahan dia mengendap ke kamar Dina....sial...kosong, nggak pulang tuh anak, nginap apa malah ngamar di hotel...? Sudahlah...tidur saja.

Besoknya, Ray bangun, asik makan, kalau mama nggak ngantor, pagi baru ada sarapan. Mama nampak asik menonton TV.

”Pulang jam berapa kamu semalam Ray..?”
”Eng...jam 11an..”
”Nggak bosan setiap hari begitu...keluyuran nggak jelas.”
”Mama juga nggak bosan apa nanya melulu hehehehe. Si Dina mana ma...?”
”Tumben nanyain, biasanya kayak anjing sama kucing. Semalam telepon, nginap di temannya. Kamu siang ini jangan ke mana – mana, tolong anter mama ke rumah tante Retno.”
”Ugh...sendiri saja deh...”
”Nggak...mama minta kamu antar.”

Paling malas gue ke sono, orangnya reseh, sombong, nyela melulu. Dia itu adik mama, suaminya kaya, makanya sering ngelecehin gue banget. Tante Retnonya maksud gue, bukan Om Gani suaminya, kalau suaminya mah biasa saja. Anaknya satu, si David, baru masuk SMA. Dikirim ke Omnya di Surabaya. Omnya itu adik bapaknya. Katanya sih sekolah di sana bagus, padahal alasan, si David itu bandel, gue tahu banget, nggak keawasin, makanya ditaruh di sana, biar ada yang ngawasin. Akhirnya Ray cuma bisa merengut. SMS Eva dulu, nanyain, takut dia ngajak jalan. Akhirnya mama bangun dari sofa, mematikan TV, mau mandi. Timbul niat burukku. Sejauh ini Ray memang tak pernah mengintip mama atau kakaknya mandi, walau sebenarnya kalau dia mau bisa, Kamar mandinya tutup pintunya yang model beli jadi, seperti alumunium, ada bagian yang renggang dan sangat nyaman untuk mengintip. Ray pernah melihat sekilas, sewaktu ia mandi. Mungkin mama dan kakaknya juga tahu, tapi nggak khawatir, toh tak ada orang lain di rumah ini. Tapi karena selama ini Eva sudah memenuhi semua hasratnya, Ray nggak pernah kepikiran buat mengintip. Tapi kemarin dia tak main, malamnya Dina nggak ada, kont01nya merana. Ide itu melintas begitu saja, menggodanya.

Tak lama mama keluar dari kamar, melenggang, handuk dan sabun semua ada di kamar mandi. Ray pura – pura asik merokok dan melamun di meja makan. Mama menyalakan lampu kamar mandi, lalu menutup pintu kamar mandi, terdengar suara selot dikuncikan...Wussshhhh.....secepat kilat Ray melesat. Dengan hati – hati Ray mengendap, di mana lobangnya...itu dia. Ray mendekatkan matanya, mamanya masih memakai daster, nampak sibuk mengambil sikat gigi, memberi odol, menaruhnya di pinggiran, lalu......tangan mamanya mulai menyentuh dasternya, mengangkatnya.....jantung Ray berdebar dan berdetak lebih cepat....perlahan daster mulai teragkat, nampak CD hitam mamanya, lalu..perlahan ke atas lagi...nampak 2 gunungan besar menggantung indah, nampak oleh mata Ray, ternyata bulu ketek mamanya sangat rimbun. Akhirnya mamanya hanya ber CD saja, mamanya melempar dasternya ke lantai. Tampak tangan mamanya seperti menepiskan sesuatu dari teteknya, mungkin potongan benang, tetek besar itu tampak sedikit bergoyang, Ray terpesona melihat besar dan juga pentilnya yang menantang dihiasi lingkaran coklat yang lebar. Selama ini tak pernah Ray melihat tetek mamanya sebebas ini. Lalu perlahan mamanya menurunkan celana dalamnya, astaga....rimbunan jembut lebat nan hitam menghiasi m3mek mamanya, samapi ke belakang dekat lobang pantatnya, kont01 Ray meronta, minta dibebaskan dari sesaknya kolor. Perlahan Ray menurunkan kolornya, mengelus dan membelai pusaka tersebut. Dan seakan memuaskan matanya, mamanya kini sibuk agak jongkok, membilas dan mencuci dasternya. Nampak bulu keteknya terlihat, juga teteknya yang bergoyang – goyang saat mamanya mengucek dasternya, Ray mulai mengocok kont01nya, perlahan. Akhirnya mamanya kelar mencuci dasternya. Mengambil sikat gigi, teteknya bergoyang saat mama menggosok giginya, membuat kont01 Ray mengeras dan berdenyut. Di kamar mandi ini memang ada bak penampungan air, juga ada shower, nggak mewah, nyambung sama keran air, model muarahan, mama mengambil selang shower, menyalakan air, keteknya terlihat jelas saat mama memegang shower, hitam lebat bulu keteknya, ughhh....ternyata Ray malah suka sekali melihatnya. Ray mulai mempercepat kocokannya. Mama mulai membasahi tubuhnya, kulit mulusnya nampak berkilat. Ditaruhnya shower, mama memencet botol sabun, lalu menyabuni tubuhnya, teteknya bergoyang ke sana kemari, pentilnya nampak berbuih, indah mengkilap, Ray makin cepat mengocok kont01nya sampai agak memerah. Enak banget melihat tetek besar itu bergerak licin saat tangan mama menyabuninya, mama menyabuni bagian tubuhnya yang lain, lalau memencet botol sabun lagi, kali in tangannya mengusap daerah selangkangannya, jembut yang tebal dan hitam itu nampak menggumpal karena air dan sabun, mama lalu menyabuni m3meknya, sedikit kurang jelas, namun belahan m3meknya agak panjang, juga tebal, Ray mengocok terus kont01nya....gawat...bisa belecetan di lantai, Ray segera melepas kaosnya, nanti tinggal duduk bercelana, mama nggak bakalan curiga, bilang mau mandi juga. Ray kembali mengocok kont01nya yang sudah keras sekali, dari lobang dilihatnya tubuh mamanya sangat aduhai, nampak licin dan berbalut busa sabun, sedikit bonus, mamanya agak menungging sewaktu menyabuni kakinya, nampak belahan pantatnya yang montok, dengan jembut yang tumbuh sampai area lobang pantatnya, nggak berkedip mata Ray melihatnya. Kocokannya makin kencang, agak bersuara, namun tersamar suara di kamar mandi. Akhirnya mama membasahi tubuhnya, mengusap teteknya, Ray makin kencang mengocok kont01nya, satu tangannya memegang kaos....aaaahhh....crooot...crooot....nampak pejunya yang kental dan agak putih, dengkul Ray lemas, kont01nya rada kebas, Ray masih memelototin mamanya yang lagi membilas, akhirnya mama mematikan shower dan menaruhnya kembali, sebentar meniriskan air di tubuh indahnya, lalu mengambil handuk, saat itu Ray sudah duduk manis di meja makan, rokoknya tinggal sedikit masih menyala, dihisapnya rada gelisah.

Gila...tubuh wanita berusia 39 tahun itu masih...masih sangat menawan dan mengagumkan, tak ada lemak berarti di perutnya. Tetek yang besar...belum pentilnya, ampun kalau sekarang saja tetek mama masih sebagus dan semempesona itu, bagaimana waktu ia muda dulu...pasti lebih bikin ngiler..belum lagi m3meknya, jembutnya, keteknya....ah...kenapa dari dulu ngga gue intipin....bego, padahal kesempatan selalu ada....gila, nggak nyangka, masih kayak orang baru 30an saja. Tubuh gue jujur banget...ngaceng gila – gilaan. Ray masih asik mikir jorok, ketika mamanya keluar dan melihatnya duduk tak memakai kaos, hanya bercelana pendek saja, mama menyuruhnya mandi.

Siangan sedikit mereka berangkat, Ray menyetir mobil, sedan lama yang dibeli mamanya. Dulu mobil kantor. Kondisinya terawat dan mesinnya masih oke. Pas ada peremajaan kendaraan, kendaraan lama banyak yang dijual. Karyawan juga boleh beli. Prioritas utamanya karyawan yang sudah lama bekerja dahulu, harganya boleh dibilang murah banget waktu mama membelinya, jauh di bawah harga pasar, boleh dicicil dari potongan gaji lagi. Mamanya juga tak terlalu sering membawanya ke kantor, kalau lagi mau saja. Ray juga boleh dikatakan sangat jarang membawanya, repot...macetnya, bensinnya. Ray melirik mamanya yang sedang duduk di sampingnya.

”Ma, memang mau ngapain sih ke sana...?”
”Itu tantemu telepon, katanya dia ada belikan mama baju, sekalian mama mau main ke sana.”
”Lha...yang adik kan dia, mustinya dia kali yang ke rumah.”
”Ah...sudahlah....ngak musti kayak gitu.”

Memang sih kalau sama mama, Tante Retno baik, ya iyalah,mama itu kakaknya sih. Sering ngasih barang, uang, walau mama tak meminta. Nggak kenapa kak, namanya saudara...begitulah katanya. Tapi kalau sama aku...buset, judes banget. Sama si Dina sih masih mending sikapnya. Akhirnya kita sampai, aku memarkir mobil di depan rumahnya yang mewah. Nggak lama kita masuk. Mama melepas kangen, memeluk dan mencium pipi adiknya, gue mah cuek saja. Tante Retno melirik jutek banget.

”Mana suamimu Ret...?”
”Biasalah...kalau Sabtu begini paling main golf sama relasinya. Kirain sama si Dina kemarinya kak.”
”Nggak, dia lagi nginap di rumah teman kuliahnya, ada si Ray saja, itu juga musti dipaksa buat nganterin.”
”Huh dasar kamu Ray, kalau orangtuamu minta antar, ya antar dong. Nggak perlu sampai maksa. Keterlaluan sekali kamu.”
”Biasa saja kali, Tan. Mama juga nggak segitu maksanya kok,” sahutku nyolot.

Mama yang tahu kalau aku sudah mulai BeTe segera mengalihkan suasana, mengaja adiknya memperlihatkan baju yang dibeli. Mereka ke dalam. Aku menunggu di ruang tamu, menyalakan rokok. Sebenarnya Tante Retno itu cantik kalau tak judes. Sebelas duabelaslah sama mama, Cuma lebih pendek sedikit, secara wajah dan bodi nggak beda kok kelasnya sama mama. Terdengar suara tawa mereka di dalam. Eh lagi enak ngerokok, si judes keluar sendirian, tak tahu mau ngambil apaan....

”Kamu ini, kerja belum tapi sudah merokok. Kalau belum bisa nyari duit jangan merokok.”
”Mama saja nggak melarang.”
”Itulah salah mamamu, terlalu banyak diamnya, sampai – sampai juga karena terlalu banyak diamnya, papamu itu jadi seenaknya...”

Kraaak....urat sabar si Ray putus jadinya, nggak ada urusannya kok malah bawa – bawa papanya yang kagak jelas, nyalahin mama segala, kesal jadinya, Ray ngebales ngejawab, menjaga agar suaranya setenang mungkin, nggak enak sama mama kalau kedengaran teriak...

”Tan, apa urusannya sih, daripada ngurusin Ray, mending urus anak sendiri. Nggak usah ngurus anak orang lain. Lagian mau Ray ngerokok, mau Ray nungging kek, nggak nyusahin tante kan. Mama sendiri juga tak sewot kok, nggak problem. Jadi nggak usah terlalu nyampurin hak orang deh. Kalau memang Ray ngeganggu bolehlah tante tegur, tapi kalau nggak mendingan tante diam saja.”
”Ka..kamu ini memang nggak tahu adat, nggak tahu aturan, nggak punya etiket, nggak punya moral. Nggak punya sopan santun, ng,,,nggak punya...”

Nggak tahu deh dia mau ucapin apa lagi dengan nggaknya yang banyak itu, mama keburu datang. Sudah memakai baju yang baru. Mengajak tante Retno masuk, meminta komentar. Malas deh, nunggu di mobil saja deh.membuka kacanya sedikit. Dua jam kemudian mama menggetok kaca mobil, membangunkan aku yang lagi tidur. Aku mengucek mata sebentar, membukakan pintu mobil. Bengong sebentar, nyatuin jiwa dan raga, setelah sudah fokus, segera menyalakan mobil...

”Ngapain kamu nunggu di mobil...?”
”Nggak...ngantuk saja, jadi mendingan tidur,”
”Oh gitu, kalau masih ngantuk sini biar mama yang nyetir.”
”Nggak usah ma, sudah puas kok tidurnya.”

Di jalan HP mama bunyi, si Dina nelepon, nanyain pada ke mana, dia dirumah sekarang. Mama menyuruhku mampir ke restaurant xxxxx, membeli makanan buat makan sore nanti. Sesampainya di rumah, mama membuka bungkusan makanan tadi, menaruhnya di meja makan. Mama lalu masuk ke kamar, mungkin mau istirahat. Aku mendekati Dina yang lagi nonton TV...

”Jelek, semalam kemana loe...?”
”Ye...tumben loe nanyain, kenapa ? Loe kangen ya...?”
”Ge Er banget sih loe Din...”
”Bilang saja kalau ya, dasar celamitan loe...”

Aku nggak membalas ocehannya, tapi sebelum masuk kamar dengan agak berbisik aku ngomong ke Dina....

”Entar malam loe nggak nginap kan...? Entar lagi ya, Din...”
”Nggak bisa. Dasar jelek....”

Dina hanya mencibirkan bibirnya, nyengir saja. Aku masuk ke kamarku. Di kamar aku kembali SMS si Eva, dari tadi dia nggak SMS lagi. Nggak lama ada jawaban, ya...lagi pergi sama orangtuanya, katanya ke rumah saudaranya....jomblo deh. Aku segera mengganti baju, biasa ke tongkrongan. Saat mau pergi, aku sedikit teriak ke kamar mama ngasih tahu.

Tak lama aku sudah asik ngobrol dan becanda seru sama anak – anak. Libur dulu malaknya, orang kantoran saja ada liburnya, lagian juga dompet masih tebal. Puas becanda aku mojok sedikit, nyantai, anak – anak sudah paham sama adatku yang suka mojok menyendiri. Bahkan sering meledek, kata mereka mending loe jadi penyair bro, mojok, merenung, bawa kertas sama pulpen, klop deh, tapi awas kebanyakan bengong entar mencret loe. Dasar anak – anak. Deden nyamperin ngasih gelas, duh masih sore sudah dikasih anggur, ya segelas nggak masalah deh. Aku menerimanya, minum setengahnya, menaruhnya di bawah. Lagi bengong, Sarah nyamperin ngajak ngobrol, tumben ngobrol serius.

”Hai Ray...”
”Hai juga....”
”Bengong saja...”
”Nggak...kebiasaan. Kadang kalau bengong gini bisa bikin tenang hati.”
”Oh...kirain lagi mules heheheh...”
”Dasar...tadi nanya serius, sekarang ngeledek...parah juga loe Sar...”

Lumayan lama berbasa – basi, Sarah kembali berbicara....

”Ray...sori nanya agak personal...”
”Tanya saja, kalau memang berkenan, ya gue jawab, kalau nggak, ya gue nggak jawab...”
”Loe nggak kuliah...”
”Tumben nanya kayak gini Sar. Nggak...jangan tanya kenapa, yang pasti memang malas dan nggak mood.”
”Oh gitu...terus loe sendiri senangnya apa...?”
”Maksud loe...”
’Bidang yang loe suka, yang loe hobi juga..”
”Apa ya...oh itu, sebenarnya gue senang kok sama ilmu komputer, sedari SMP. Senang ngotak ngatik. Jelek – jelek gini secara otodidak gue belajar, gue juga paham beberapa bahasa pemograman lho. Cuman gue belakangan malas, kebanyakan main. Lagian bukunya banyak dan lumayan mahal.”
”Oh yah...wah kalau loe mau loe ke rumah gue saja Ray. Abang gue banyak banget buku tentang dunia komputer. Dia juga hobi. Sekarang dia sudah menikah dan tak tinggal di rumah. Bukunya yang di rumah sudah tak ia perlukan. Loe boleh pinjam atau bawa, daripada loe beli sayang..”

Dan memang aku sangat menyenangi dunia komputer dan segala seluk beluknya.Sebandelnya diri ini, tapi kalau buat yang namanya buku komputer, pasti aku baca, aku sempet – sempetin, Biasanya aku praktekin pakai laptop kerjanya mama. Tentu saja tawaran Sarah bagaikan harta karun. Wajahnya menunjukkan dia tak berbohong. Sarah nampak senang melihat minatku.

”Boleh juga, loe serius Sar...?”
”Serius...sekarang juga boleh...”
”Entarlah...nggak enak sama anak – anak.”
”Ray....”
”Ya...kenapa Sar...?”
”Sori lagi...? loe nggak jenuh begini terus...? Nggak kuliah...nggak kerja...?”
”Ya dan tidak...tapi masih berat ke tidak. Masih senang kayak begini. Bagi gue, anak – anak ini asik, nggak ada kepalsuan. Semuanya saling solidaritas. Memang kita nakal, suka malak, suka minum, tapi buat kompak, setia kawan, nomor satu. Lagian kayak gue ini mau kerja apa Sar...”

Sarah nampak diam, Aku mengambil gelas, menegak anggur kembali. Tak lama Sarah berucap lagi..

”Ray..eh..ka..kalau loe memang mau kerja, gue bisa ngomongin sama bokap gue, biar dia masukkin loe di Perusahaannya...loe mau..?”
”Wah Sar, thanks sebelumnya, tapi sori, seperti kata gue tadi, kayaknya gue nggak minat dulu. Masih menikmati hidup gue. Sori, tapi serius, gue ngehargain tawaran loe. Sudah yuk...nggak enak sama anak – anak.”

Dan aku pun kembali larut dengan candaan bersama anak – anak. Sekitar jam 8 Sarah mendekat. Dia mau pulang, katanya mau ikut nggak ngambil buku. Sebenarnya nggak enak ninggalin anak – anak, tapi tawarannya dan buku – buku itu sangat menarik minatku, okedeh. Aku mengangguk, Sarah girang banget, baru kali ini aku mau diajak ke rumahnya, meski niatku murni demi buku – buku itu. Kita pamit, anak – anak nggak masalah. Panjul dengan nyebelin malah cengar – cengir ngelihat aku jalan sama Sarah.

Kita jalan keluar dari gang, ke samping mall, aku nanya Sarah rumahnya di mana, mau naik bis yang mana. Sarah dengan agak malu, bilang dia bawa mobil, dasar anak orang kaya pikirku. Tapi tak urung merasa geli juga, sedemikian solidernya sama kita orang, sampai – sampai ia nggak mau nunjukkin kalau hari ini ia kemari bawa mobil, Sarah memegang tanganku, aku agak gimana gitu, menarikku ke dalam mall, ke parkiran basement. Gila...saat aku melihat mobilnya....sampai bengong, ini sih benar – benar baru yang namanya mobil. Sedan yang harganya nolnya berderet delapan baris.

”Mau bawa Ray...?”
”Ngak...nggak deh Sar, gue takut norak bawa nih mobil. Juga minder bawanya...gila nggak level banget model kayak gue bawa boil begini.”
”Ah ada – ada saja loe...ya sudah masuk deh.”

Ampun...empuk banget joknya, interiornya juga gila banget. Sarah menyalakan mesin,bagian atas bagian tengah membuka....srrrrtttt....sebuah LCD kecil turun, nggak lama video musik mulai tampil...ampun deh. Sarah mulai memasukkan gigi, kita pun jalan meninggalkan mall. Di sepanjang jalan kita mengobrol santai. Tak lama tiba di rumahnya di wilayah elite, Ray serasa memasuki planet lain saja...dan kalau tadi Ray bengong saat melihat mobil ini, maka kini bukannya bengong lagi, sampai nganga mulut ini. Ini rumah apa stadion bola pikirnya, gede banget, rumah tante Retno yang mewah, jadi nggak ada artinya kalau dibandingkan rumah ini. Sarah menurunkan kaca, menyapa penjaga rumahnya yang membukakan gerbang. Tak lama kami sampai. Turun dari mobil, di garasinya masih ada beberapa mobil, asli kagak ada yang murah.... hah....itu kan Ferrari...gila...ini masih di bumi kan pikir Ray norak. Sarah mengajakku masuk. Sampai dalam aku duduk di sofa yang luar biasa nyamannya...speechless. Ray menunggu, mau nggak mau kepokiran, rumah segede begini, punya pembantu berapa banyak ya...? Tiga saja rasanya masih kurang kayaknya....ampun deh....

Sarah masuk ke dalam, tak lama keluar bersama seorang pria, sangat berkharisma dan berwibawa...dan kayaknya aku pernah ngelihat wajahnya di TV atau di koran. Sarah mulai bicara.

Ray...ini papaku, panggil saja Pak atau Om Satria, sesukamulah mau Pak atau Om. Nah pa, ini Ray teman Sarah.”

Ray dengan sopan menjabat tangannya, sangat tegas jabatan tangannya, Ray juga membalas menjabat tangannya dengan mantap, sedikit malu Ray dengan pakaiannya, jeans belel, kaos dan jaket kulit. Sarah melanjutkan bicara.

”Pa, Ray ini suka sama dunia komputer, makanya Sarah bilang ke dia ambil saja buku Mas Jaka, toh tak ia perlukan lagi, daripada tak terpakai sayang, bolehkan.”
”Silahkan. Papa senang kok kalau anak muda mau belajar. Apalagi kalau serius. Ya, kamu berikan saja. Oh ya, Ray...santai saja jangan tegang seperti itu....santai saja.”
”I...iya Om, maaf merepotkan.”
”Oh..tidak...tidak sama sekali. Untuk anak muda yang mau belajar, Om tak akan merasa direpotkan, justru senang. Nah, Sarah, kamu ajak deh temanmu itu, papa kebetulan mau pergi, ada undangan dari Pak Menteri. Ajak kawanmu makan sekalian. Nah Ray, Om permisi dulu, sering – sering kemari, buku di rumah ini lebih dari cukup untuk memuaskan hasrat dan minat belajar.”

Om Satria melangkah keluar, ia sekilas menolehkan kepalanya, benaknya berkata pada dirinya....puluhan tahun jadi pengusaha yang sukses, instingnya telah sangat terasah, dan anak muda itu, Ray, sewaktu ia menjabat tangannya, auranya sangat kuat...dengan ketekunan dan bimbingan yang tepat....bakal jadi orang nantinya.

Sarah mengajak Ray ke perpustakaan di rumah ini, sekilas ia mengatakan mamanya sedang ada acara luar. Ray kembali melongo.....banyak benar bukunya. Masih terkagum – kagum, Sarah menuntun Ray ke bagian buku yang ia maksud. Mata Ray langsung bergairah...gila...ini bagus...ini juga...itu...lalu ini...yang di atas sana...wow itu kan susah banget didapat....akhirnya setumpuk buku sudah tersusun. Ray jadi kagak enak hati. Ia mengambil beberapa saja. Sarah melihatnya.

”Lho kok cuma yang itu...”
“Enggak ini terlalu banyak Sar…”
”Ray dengar ya....kalau buku yang lain gue tak tahu, mungkin papaku butuh, atau mamaku butuh. Tapi kalau ini 100% tak ada yang butuh, Kagak ada yang paham. Cuma abangku yang baca. Dan dia jelas tak butuh lagi. Di rumahnya juga ada. Makanya bawa saja. Kalau loe tak enak hati ya pinjam...tapi gue sudah bilang tadi ini buat loe.”

Ray jadi terharu....jarang ia menerima kebaikan setulus ini. Akhirnya setelah dipaksa ia mau. Mereka minum sebentar, pembantunya Sarah sudah menyiapkannya tadi sewaktu mereka di perpustakaan. Mengobrol sebentar. Ray nggak berani menyalakan rokoknya, minder habis dia. Akhirnya Ray pamit. Siap menenteng bukunya..

”Naik apa...? gue antar.”
”Nggaklah....segini saja loe sudah terlalu baik Sar. Ini sudah jam 9 lewat, loe nanti balik sendirian. Bahaya. Sudah...kalau susah kendaraan, gue bisa naik taksi.”
”Nggak...ini malam minggu, rame jalanan. Atau gue terlalu jelek buat datang ke rumah loe ?”

Ray nggak bisa berkata lagi. Seumur – umur baru pernah yang namanya cewek datang ke rumahnya. Eva saja yang sudah hampir 2 tahunan dia pacarin, belum pernah. Oh iya jadi ingat...untung si Eva nggak nelepon. Ray duduk diam, sesekali memberitahu arah jalan ke Sarah. Apa nanti kata mama di rumah. Belum lagi si reseh satu itu, Dina. Jam 10 kurang mereka sampai. Pintu rumahnya tertutup. Ialah, nggak biasanya Ray pulang naik mobil. Jadi mamanya juga tak bakalan menyangka kalau mobil yang berhenti di depan rumahnya itu adalah Ray. Paling ia pikir tetangga. Ray menenteng tumpukkan bukunya. Parkirnya agak sanaan dikit dari pagar rumah.

”Nih rumah gue Sar...jelek ya.”
”Ray...gue nggak suka kalau loe ngomong begitu.”

Ray nginyem...malu sama omongannya sendiri. Karena dari dalam masih terdengar suara TV, Ray nggak mengambil kunci rumah di kantong celananya, ia memberi kode anggukan kepala ke arah pintu ke arah Sarah, menyuruhnya mengetuk pintu, dia repot membawa buku. Sarah mengetuk pintu, lalu agak minggir ke samping Ray, gordeng agak terbuka, si reseh, Dina Cuma melihat Ray, nggak melihat Sarah. Terdengar suara bawel kakaknya menggerutu sambil membuka pintu...

”Iya...memang si Jelek tuh ma, punya kunci samping pakai acara ketok pintu depan segala, ganggu orang nonton saja.”

Dan Dina Cuma bisa melongok melihat si jelek ini sedang berdiri membawa setumpuk buku tebal, dengan perempuan kategori sangat cantik berdiri di samping si jelek. Setelah bisa mengatasi shocknya, Dina berteriak...

”Ma...., gawat si jelek nyulik anak perempuan orang...”

Dina segera masuk, sementara mamanya yang tadinya nonton TV penasaran dengan maksud Dina, segera berdiri. Saat melihat Sarah, Ray tahu wajah mamanya itu asli natural banget nggak dibuat – buat, mamanya sangat...sangat terpesona. Anak perempuan yang cantik sekali pikir mamanya. Ray segera mengenalkan Sarah pada mamanya dan dengan terpaksa dan dengan tak ikhlas pada si reseh. Mamanya menyuruh Sarah duduk. Menyuruh Dina membuatkan minuman. Mama nampak segera akrab dengan Sarah. Makin senang waktu tahu ternyata Ray baru dari rumah Sarah mengambil buku – buku pengetahuan. Tak banyak orang yang bisa menggugah motivasi anaknya. Dasar wanita...pikir Ray, kalau sudah klop biar baru kenal, kok bisa akrab banget kayak sudh kenal lama. Mamanya larut dalam percakapan seru sama Sarah. Dina...jadi kambing congek hehehe. Akhirnya setelah jam nyaris menunjukkan jam 11 Ray memotong....

”Ma...sudah dulu ngobrolnya, kasihan si Sarah, kemalaman....”
”Apa...oh ya...kamu anterin deh Ray...”
”Gimana sih ma,Ray saja ke sini dianterin sama dia, masa sekarang Ray anterin lagi...”
”Iya...tapi dia kan perempuan bahaya...sana kamu ambil kunci mobil...”
”Eh..anu tante nggak apa, memang tadi Sarah yang maksa nganterin Ray. Eh..Sarah bawa mobil sendiri kok...”
”Duh...tante benar – benar nggak tega deh...eh kamu yakin..? Sudah malam lho...kelewatan memang anak tante ini.”
”Nggak kenapa tante, saya permisi ya.”

Dan sekarang saat pulang dan berpamitan, bahkan mama mencium pipi Sarah. Sebagai tanda sopan mama ikut aku mengantar Sarah ke depan, Dina penasaran ikut....dan Ray mati – matian menahan tawa saat melihat Dina yang bengong melongo melihat mobilnya Sarah......akhirnya Sarah pulang. Setelah masuk segera saja hal yang Ray malas dengar, mulai menghujaninya. Makanya dia nggak mau Sarah mengantarnya. Mamanya dan Dina sibuk menginterogasi dirinya....eh salah deh, kalau si Dina mah cuma ngeledek....Ray menjawab sambil sesekali menghisap rokoknya.

”Hei jelek...gila loe, kenalin dong dukun pelet loe, gue juga mau, kali aja bisa dapat cowok tajir di kampus gue...”
”Hush...kamu ini Dina. Ray..eh...tadi itu pacarmu...?”
”Ya ampun ma, bukan...hanya teman main. Memangnya kalau cewek ke rumah harus selalu teman.”
”Ya nggak sih...mama suka sama anak itu, cantik sekali, juga....”
”Tajir....hehehehe,” suara sumbang Dina memotong.
”Dina, kamu ini....mama lanjutkan ya, juga sepertinya dia bisa membuat kamu tertarik belajar, baguslah, kalau kamu berteman dengan gadis seperti itu, mama senang.”
”I..iya ma, nggak memang dia kebetulan punya buku komputer yang Ray butuh.”
”Eng...Ray...”
”Iya ma...?”
”Kamu yakin dia itu bukan pacarmu...”
”Ya ampun...teman ma...T E M A N. Pacar Ray ada lagi bukan dia, lebih cantik....”

Dan percakapan hangat itu diakhiri oleh si Dina yang reseh....

”Oh dunia sudah terbalik....si Sarah itu saja sudah cantik sekali, si jelek ini malah bilang pacarnya jauh lebih cantik...malangnya perempuan itu dan....butakah perempuan itu....”

Ray menyambit Dina dengan kardus rokoknya. Sebenarnya mama dan Dina bukannya norak atau berlebihan, tapi yang namanya Ray yang cuek dan semaunya itu sampai bawa teman cewek ke rumah, apalagi yang secantik si Sarah, hal itu ibarat nungguin hujan di gurun sahara. Makanya mereka jelas sangat – sangat suprise sewaktu melihat Sarah tadi. Akhirnya mama masuk ke kamarnya, juga Dina. Ray mengunci semua pintu. Tak lama Ray juga masuk ke kamarnya, mulai membolak – balik buku.

Renita nampak berbaring bersiap tidur, namun masih asik dengan pikirannya, dia memang terkejut saat anaknya datang membawa teman wanita, hal yang tak pernah terjadi. Dia senang melihat gadis yang bernama Sarah itu...gadis yang baik dan sangat cantik, sopan. Lalu apa kata Ray tadi, Sarah cuma teman, pacarnya sendiri lebih cantik, ah paling anak itu membual karena malu diejek sama si Dina. ...lalu dia mulai memejamkan matanya, tapi masih sempat bergumam pelan, kalau Ray menganggap Sarah cuma teman......ah sungguh bodoh anakku. Diapun tertidur.

Ray masih asik membolak – balik buku – buku itu. Senang tapi pusing jadinya, iyalah....setumpukan begitu semuanya dilihat sekaligus. Ray akhirnya memutuskan akan membacanya satu per satu di saat senggang. Dia agak melemaskan tubuh, pegal, wah hampir jam satu. Segera ia membereskan buku – buku tersebut. Mengambil rokoknya, ngerokok dulu pikirnya. Ia lalu duduk santai. Sumpah, kalau dari apa yang dia dengar dari anak – anak, Ray hanya menyangka kalau Sarah itu paling hanya anak pengusaha yang sekelas suami tante Retno. Ternyata keliru sekali, bapaknya itu mah sudah masuk kelas pengusaha kelas super kakap. Salutnya penampilan Sarah biasa saja, malah dia nggak menggembar gemborkan diri sebagai anak orang tajir. Ray suka itu...bukan suka tajirnya, Ray suka sama Sarah yang sikapnya nggak sombong, mana baik ngasih dia buku. Ya...kenapa malah jadi mikirin Sarah....Ray segera mematikan rokok, meminum air yang tinggal setengah gelas. Nggak bagus kelamaan nganggurin senjata pikirnya.....

Ray membuka pintu kamar, melihat ke kamar mamanya, sepi....yakin aman, dia keluar, menutup kamarnya perlahan. Ray segera menuju kamar kakaknya. Dibukanya pintu kamar Dina, perlahan...lha si kupret....kirain sudah tidur. Ray melihat kakaknya lagi asik membaca majalah. Ray nggak pakai acara lama, langsung merebahkan diri di samping kakaknya.

”Ngapain loe...?”
”Ah loe Din, pakai nanya lagi...”
”Yeh...tadi siang kan gue sudah bilang nggak bisa...”
”Lah loe Din, ayo dong....”
”Gue mau saja, tapi gue lagi dapet nih, jadi nggak bisa.”

Duh apek benar nasib gue....pikir Ray dalam hati. Tapi tanggung banget sudah di sini. Ray tidak mau rugi, segera melanjutkan rayuan mautnya....

”Ya sudah deh, pas foto saja deh Din. Pas foto plus....”
”Pas foto...pas foto...loe kira foto studio...”

Yang dimaksud pas foto sama Ray itu adalah dia main dari wilayah pinggang ke atas, habis bagian bawahnya lagi berhalangan. Plusnya..ya itu di oralin. Karena Dina tetap cuek baca majalah, Ray segera beraksi.. Dia mulai mengganggu Dina, mulai meremas teteknya.

”Ye jelek, gue lagi baca nih....”
“Loe baca saja, gue lagi cari kesibukan sendiri…”
“reseh loe, mana bias baca kalau begini….”

Akhirnya Dina pasrah, melempar majalahnya. Ray segera melucuti daster kakaknya. Tangannya mulai meremas tetek besar milik Dina dengan kuat, sambil memainkan pentilnya. Sementara Dina mulai mengelus – ngelus tonjolan di celana Ray. Sekarang Dina sudah nggak menolak lagi buat mainin atau meng-oral kont01 adiknya ini, habis dia sudah tahu dashyatnya kont01nya si Ray sih. Ray mulai menghisap dan mengemut pentil kakaknya dengan kuat, Dina segera saja mulai kelojotan saat pentilnya dihisap dengan kuat. Pentil yang tadinya malu – malu itu kini suah mengacung dan mengeras. Enak banget Ray memainkan dan menggoyangkan dengan lidahnya. Sesekali Dina mendesah nikmat. Tangannya mulai menyusup ke balik celana pendek milik Ray. Menggenggam kont01nya dengan erat. Ray mulai menjilati leher Dina, lalu juga menciumi ketek Dina yang bersih itu. Ray jadi ingat ketek mamanya.

”Din...ketek loe jangan loe bersihin dong, biarin saja numbuh sampai lebat...”
”Ah jorok loe...”
”Ye...lebih seksi lagi, loe coba saja deh. Terserah loe sih, tapi benar kok menurut gue akan lebih seksi.”
”Au ah...gimana mood gue saja. Sini, turunin celana loe….”

Ray dengan sangat patuh segera memelorotkan celananya, kolornya juga. Kont01nya yang gede dan sudah sangat ngaceng itu segera menggantung dengan perkasanya di depan wajah Dina. Dina menatapnya dengan sangat antusias. Satu tangannya segera menggenggam kont01 adiknya itu, mulai membelai biji pelernya dengan sangat lembut dan erotis, sementara tangan yang lain, membelai kepala kont01 Ray dan lobang pipisnya. Perlahan Ray mulai merebahkan dirinya agak di pinggir ranjang.. Dina sambil tangannya tetap beraksi segera turun dari tempat tidur, fokusnya tetap pada pangkal selangkangan Ray.

Tangannya segera mengocok perlahan batang kont01 Ray. Agak lama ia memainkannya. Lalu akhirnya lidahnya mulai menjilati kepala kont01 Ray. Mengitarinya, sesekali memainkannya di lobang pipis Ray...ampuuunnn....Ray membatin keenakan. Lidah itu bergerak perlahan lalu mulai cepat. Kini menjilati batang kont01 Ray, menelusuri titik – titik kenikmatan di batang kont01 itu dengan sangat erotis, membuat si pemiliknya hanya bisa mendesah dan merem melek sesekali. Akhirnya mulut Dina segera menelan kont01 Ray, mulai dari kepala kont01nya, akhirnya amblas sampai batangnya. Dihisap dan dikulumnya dengan telaten, gerakannya berirama, perlahan lalu cepat...perlahan lagi...sangat pas memainkan temponya. Sesekali Dina menghisap kont01 Ray dengan kuat, membuat Ray kelojotan...geli – geli enak rasanya. Dina melepaskan kulumannya, kini lidahnya kembali menjilati biji peler Ray, mengangkatnya dengan tangannya, lalu lidahnya mulai menjilati bagian bawah biji peler adiknya itu, juga tak ketinggalan belahan pantatnya, sampai ke daerah sekitar lobang pantat Ray, gila...enak banget pikir Ray dalam hatinya. Sendinya terasa lepas saja menahan kenikmatan yang dia dapatkan dari jilatan lidah Dina. Puas menjilati, kembali Dina mengulum dan menghisap kont01 Ray, kali ini gerakannya sangat cepat. Batang kont01 Ray merasakan geli saat bersentuhan dengan bibir kakaknya ini. Dina makin ganas saja mengulumnya....Ray merasa sebentar lagi dia mau ngecret....

Lagi tanggung – tanggungnya, Dina malah menghentikan hisapannya Ray mau protest, tapi nggak jadi karena Dina mulai menggenggam kont01 gede milik Ray itu, dia gesek – gesekkan kont01 itu ke teteknya, ke pentilya yang sudah mengacung itu. Lalu kont01 itu diletakkannya di tengah belahan teteknya. Dina meludahinya sedikit, agar sedikit baah dan memudahkan gerakannya.Tangannya segera mengapit kedua sisi teteknya, mengepresnya dengan kuat, membuat kont01 Ray terjepit dengan kuat pula. Dina mulai memainkan tangannya, membuat teteknya bergerak naik turun, menggoyangkan teteknya yang besar itu. Ray merasakan kont01nya seperti dibelai dan dipijit. Nyaman sekali, teteknya sangat kencang dan kenyal. Sesekali kepala kont01 Ray dihisapnya. Ray sesekali mendesah, berbaring pasrah saja menikmati pijatan tetek yang nyaman ini. Agak lama kemudian ia merasakan denyut kenikmatan yang familiar di kont01nya....tanpa permisi lagi kont01 itu segera memuncratkan pejunya...putih dan kental, membasahi tetek Dina. Dina segera menghentikan gerakannya, membebaskan kont01 Ray dari jepitan teteknya. Tangannya sedikit menaikkan teteknya, lidahnya lalu menjilati peju Ray yang menempel di teteknya....gurih....akhirnya Dina menyeka peju yang tersisa dengan celana Ray. Diapun segera naik ke atas tempat tidur.

Ray masih berbaring saja, setelah agak lama ia duduk bersandar, Dina juga bersandar. Ray jadi iseng buat nanya – nanya sama kakaknya

”Din...gue nanya dikit dong...”
”Nanya apaan....tumben loe mau nanya...”
”Loe kalau pulang kuliah emangnya ngelayap ke mana sih, kok kadang pulang malam, kadang malah nggak, nginep melulu...”
”Ah reseh deh loe, loe juga sering pulang malam.”
”Lha...gue sih laki, loe kan perempuan.”
”Itu bukan alasan, lagian itu urusan gue dong.”
”Ya sih, gue suka ngeliat kalau loe pulang yang nganterin loe itu cowok, sering gonta – ganti, asal loe jangan suka sembarangan saja main sama banyak cowok, kayak waktu gue lihat loe lagi ngewek di sini....bisa bahaya.”

PLAK.....kaget banget Ray, memang sih selama ini dia sama Dina nggak akur, suka nyela – nyelaan, suka cuek, kalau ngomomg suka asal saja, tapi nggak dia sangka kakaknya bakalan menggampar dia. Belum hilang kagetnya Dina sudah nyerocos, tentu saja suaranya pelan, takut mamanya dengar...

”Heh..., loe pikir gue piala bergilir apa, loe bilang sama banyak cowok. Gue nggak separah itu. Memang gue suka gaul sama banyak orang, teman cowok gue juga banyak. Tapi bukan berarti gue ngewek sama semuanya. Soal begituan emang gue nggak munafik, gue suka ngelakuin, tapi nggak dengan gonta – ganti cowok seenaknya. Dengan loe ngelihat gue waktu itu lagi ngewek di sini, jangan loe berasumsi sembarangan dong. Kalau gue ngelakuin, itu sama pacar gue.”
”Iya Din...gue juga belum kelar ngomong tadi. Loe sudah nabok duluan..Intinya sih, soal loe mutusin mau gituan sama siapa itu urusan loe, cuma gue juga ngingetin loe agar berhati – hati, jangan sampai sembarangan, kebablasan, kalau loe hamil kan bisa bikin mama malu.”
”Tumben loe perhatian...”
”Ya walaupun gue sering nyela loe, suka cuek, loe kan tetap kakak gue, wajar kan kalau gue sesekali peduli.”

Dina menatap Ray, tumben lempeng otaknya bih anak, rada menyesal juga dia sudah nabok Ray. Habis memang si Ray suka ngomong yang nyebelin sih. Lagian tadi cara ngomongnya si Ray itu juga salah, memang seperti mengasumsikan dia suka sembarangan ngewek sama banyak cowok. Tapi paling tidak dia sudah nunjukkin perhatian, sesuatu yang jarang dia lakukan pikir Dini. Lagian memang sih selama ini juga Dina nggak terlalu terus terang tentang kegiatannya.

”Ray, memang gue untuk urusan seks termasuk bebas, tapi kalau gue melakukan, itu pasti dengan cowok gue, cowok yang gue suka. Buat amannya juga gue double pelindungnya. Gue minum pil KB. Cowoknya juga harus pakai kondom. Kalau nggak pakai kondom, gue nggak mau.”
”Lha...kok gue kagak pakai Din...?”
”Loe mah terlanjur, waktu pertama kan loe maksa, lagian kagak ada persiapan. Beda kalau gue mau main sama cowok gue, sudah sedia kondom. Kalau loe sih memang reseh sih, sudah kebablasan nggak pakai kondom. Nggak kenapa deh, Cuma loe saja yang gue kasih ngewek sama gue nggak pakai kondom.”
”Memang enakkan polos sih Din.”
”Dasar. Terus memang gue kalau pulang suka dianterin sama banyak teman gue yang cowok. Tapi gue nggak gampangan, nganterin bukan berarti tuh cowok pada ngewek sama gue .Loe ingat itu.”
”Iya...iya...gue minta maaf sudah salah ngomong. Terus kenapa loe sering pulang malam atau malah nginap...?”
”Gue kasih tahu, tapi loe jangan bilang mama. Gue biar negini – begini juga nyambilan, ikut teman gue yang cewek. Dia punya usaha. Gue sering bantuin kalau dia lagi ada job lumayan banyak. Lumayan buat nambahin duit jajan, juga bisa buat belajar cari pengalaman.”
”Oh gitu...nggak nyangka...reseh – reseh gini otak loe boleh juga...”
”Loe memang suka banget nyelain orang ya. Sudah sana deh, kan sudah ngecret, balik ke kamar loe. Gue mau lanjutin baca majalah, ganggu saja.”
”Oke...thanks ya....nanti kalau sudah selesai, harap anda berkenan melapor, biar aku bisa mengabsen m3mek anda, sekian dan terimakasih...”
”Itu mah memang mau loe, jelek....”

Ray kemudian memakai celananya, dan....suatu hal yang jarang ia lakukan, ia mengecup pipi Dina sebelum keluar dari kamarnya. Sebelum keluar, ia melihat situasi...aman...dia pun segera menuju kamarnya, kembali membaca buku...lebih konsentrasi setelah barusan sudah ngecret....

Sementara Ray yang sudah lega dan kini konsentrasi membaca, Sarah sedang berbaring di kamarnya, tak bisa tidur, hatinya terlalu senang hari ini. Biarpun Ray datang ke rumahnya karena tertarik meminjam buku, tapi paling tidak bagi Sarah itu sudah suatu kemajuan besar. Sebagai bonus, ia bahkan bisa berkunjung ke rumah Ray, dan mengenal mama dan kakanya yang baik dan ramah. Sarah lalu mengingat kembali saat ia masih kelas 2 SMA dulu. Ia sekolah di SMA negeri favourite di Jakarta ini. Banyak anak orang kayanya di sana. Tapi Sarah sedikit malas bergaul sama mereka, terlalu lebay menurutnya. Bertemannya diukur dengan status, sering membandingkan atau membicarakan hal – hal yang tinggi saja. Juga Sarah di masa itu sedang tidak akur sama papanya. Papanya terlalu mengatur, semuanya sudah ditetapkan, harus begini, harus begitu, ikut les ini, ikut les itu, bahkan kuliahnya nantipun sudah ditetapkan musti kemana dan jurusan apa. Sarah tentu saja berontak, mulai sering membantah, sering berdebat sama papanya. Dia mulai serig jalan sama temannya, kebanyakan anak – anak golongan menengah ke bawah, hal mana yang membuat Sarah nyaman. Suatu hari temannya yang cewek mengajak Sarah ke pacarnya, yang juga sering nongkrong di tempat Ray. Sarah mau saja ikut. Saat itu dan beberapa kali sesudahnya, Sarah belum ketemu Ray. Sarah merasa enjoy, kayaknya asik banget ngumpul sama mereka. Dan setelah mulai akrab an lumayann banyak kenal, Sarah bahkan memberanikan diri datang sendiri tanpa temannya. Sarah sebisa mungkin tidak menampakkan dan menonjolkan identitasnya. Kalaupun ia membawa mobil, ia tak akan ngomong, parkir di basement mall. Itupun jarang, ia lebih sering naik bus. Dan akhirnya suatu hari ia melihat sosok remaja pria yang belum pernah ia lihat.

Dan Sarah masih ingat sekali, saat ia melihat sosok itu, hatinya bergetar, penasaran, sosok itu berbeda dengan sosok teman – temanya selama ini. Gayanya sangat cool, nggak banyak omong, memancarkan pesona juga kharisma tersendiri. Wajahnya pun tampan, tapi si pemiliknya sepertinya tak terlalu memperdulikan hal itu. Ya..., sosok itu adalah Ray. Sarah sangat terpesona. Dan tanpa ia sangkal, ia merasakan dirinya jatuh hati pada Ray. Sayangnya hanya satu arah. Ternyata setelah Sarah sudah mulai mengenal Ray, ia mendapatkan fakta bahwa Ray sudah memiliki pacar. Dan itu hanya membuat Sarah makin penasaran. Banyak pria akan berlomba mengejarnya setiap kali ia menebarkan pesonanya, tapi tidak pada lelaki ini. Terlalu cuek, angkuh dan seenaknya. Itu malah makin membuat Sarah penasaran. Makanya hari ini ia sangat berbahagia, karena bisa membuat topik pembicaraan yang akhirnya bisa membuka diri Ray.

Soal hubungannya yang tak akur dengan papanya...? Akhirnya memang papanya setelah melihat anak putri satu – satunya, anak bungsunya mulai sering berdebat, sering pulang malam, juga mengabaikan semua kegiatan les yang ia perintahkan, papanya mulai intropeksi, mulai menyadari kekeliruannya. Sedikit demi sedikit ia mengalah pada Sarah. Dan kini Sarah sudah kuliah di sebuah universitas swasta elite, jurusan bisnis, sekarang awal tingkat 2. Biasanya kuliahnya pagi samapi siang hari. Sebenarnya papanya mau mengirimnya kuliah di luar negeri. Mana Sarah mau, pria idaman dan pujaannya ada di sini. Dia harus berjuang menaklukkan keangkuhan pria yang bernama Ray itu. Sarah pun akhirnya tertidur dengan seutas senyum di bibirnya, memimpikan pangerannya.

Keesokan harinya, Minggu, Ray memutuskan tak keluar rumah,terlalu asik tenggelam dalam buku – buku komputernya, ia bahkan meminjam laptop kerja mamanya, untuk praktek. Mamanya tentu saja senang, semoga saja anak ini benar – benar tergugah motivasinya.

Dua bulan berlalu setalah itu. Tak ada yang terlalu spesial. Kini tabungannya sudah cukup, Ray sedang serius memutuskan mencari motor. Selain itu paling Ray agak sedikit BeTe, belakangan Eva jarang sekali ketemu dengannya. Kuliahnya mulai sibuk. Buku –bukunya walau lumayan banyak dan tebal – tebal, sudah hampir rampung ia baca. Memang kalau sejalan dan juga suka, dibacanya juga enak. Dengan Sarah juga tetap seperti biasa, Ray masih menganggapnya teman saja. Walau sudah tahu betapa sangat kayanya Sarah, tapi Ray tak silau. Kalaupun ada yang baru, di tongkrongannya ada anak baru, Ray nggak tahu siapa atau bagaimana ceritanya anak ini bisa sering ikut ngumpul. Juga siapa yang bawa, yang pasti itu anak mulai sering nongkrong. Dipanggilnya Si Bronk, sekitar 21 atau 22an, tapi wajahnya nggak menunjukkan umur. Wajahnya jauh lebih boros dari umurnya. Dan ini yang Ray nggak suka, kabarnya ini makhluk adalah pengedar sekaligus pemakai. Entah benar atau tidak, Ray tak tahu. Anak ini rada kerempeng. Sekitar badannya penuh tato...gila banget tatonya......ada tato donal bebek, miki mouse,gufi, pluto, mungkin si Bronx ini penggemar berat Disney . Yang hebat tatonya di pundak sebelah kanan...tatonya berupa....bayam seikat. Kabarnya waktu lagi teler berat, si Bronk ke tukang tato. Tukang tatonya sangar dan gempal badannya. Si Bronk minta dibikinin tato popeye. Dia segera membuka baju buat ditato. Nggak sampai 3 menit kelar, tapi kok tatonya malah bayam seikat...? Rupanya tukang tatonya kagak tahan sama bau badan si Bronk, daripada kelamaan bikin tato popeye, ganti saja sama tato bayam seikat, sama saja, popeye kan makan bayam. Si Bronk amau protest juga takut ngelihat tukang tatonya sangar. Tapi terlepas dari masalah tato, Ray mengingatkan Panjul dan Deden agar jangan terlalu akrab, apalagi sampai make bubuk.

Kebiasaannya mengintip mamanya mandi juga sudah rutin ia lakukan, setiap saat memungkinkan. Bahkan ia mengakui, sedikit banyak ia mulai sering berkhayal dan mulai terobsesi sama tubuh mamanya. Dan hubungannya dengan Dina, makin seru dan lancar. Memang Dina nggak setiap waktu pulang, tapi setiap kali ada di rumah dan tak sedang halangan, bisa dipastikan malam hari akan selalu menjadi malam yang panas dan penuh gairah bagi mereka berdua, seperti malam ini....

”Aww....terus Ray...tekeeennn....”
”Sampeeeee....pooollll....Ooohhh....”

Tubuh telanjang Dina bergoyang dengan kuat, sementara Ray masih asik saja menyodok m3meknya. Baru saja mereka memulai. Ray memompakan kont01nya dengan santai, sambil mengamati tetek kakaknya yang bergoyang pelan. Pentilnya yang mengacung dan kecoklatan itu amat mengundang, segera saja ia sedikit menunduk, mulai menghisap pentil tersebut, menjilatinya, lalu menghisapnya kembali dengan kuat. Dina menggeliat, pentilnya sangat sensitif terhadap hisapan yang agak kuat. Pantatnya bergoyang menahan kenikmatan yang sedang menjalar. Ray mulai mempercepat sodokannya, kini mulutnya berganti sasaran, sedang menciumi ketek Dina. Dina seperti permintaannya mulai membiarkan keteknya tumbuh, sekarang masih halus dan jarang. Ray asik mencium dan menjilatinya, membuat Dina agak terkikik geli. Kont01nya masih dengan nyamannya keluar masuk, terasa nyaman dalam balutan cairan yang licin dan hangat. Ray terus saja menyodok dengan sangat berkonsentrasi. Sesekali ia aga menggoyangkan pantatnya. Dina sendiri mengangkat kakinya, melebarkannya. Membuat terobosan kont01nya makin mulus. Ray mulai mencari bibir hangat kakaknya, dengan tak sabar ia menciumnya, lidah mereka bertautan dan saling sedot menyedot, sensasinya sampai menambah nafsu, Ray menyodok dengan kuat dan cepat, membuat Dina kewalahan dan mulai mendesah agak terengah – engah, matanya merem melek, karena sodokan yang tiba – tiba saja dipercepat oleh Ray. Ray bukannya memperlambat, melihat ekspresi wajah Dina yang nampak sangat mesum itu ia menyodok semakin gila....Dina sampai sulit bernafas, m3meknya seperti diserang serangkaian kenikmatan yang tanpa henti, tangan Dina menggapai, memeluk pundak Ray kuat, pantatnya sedikit terangkat, erangannya agak kuat, lalu dengan mengejangkan tubuhnya, Dina menyemburkan cairan orgasmenya.

Renita terjaga dari tidurnya, dilihatnya jam...jam 1 lewat, lumayan lama ia sudah tidur. Ia tadi tidur jam 9an, karena tadi di kantor ia sangat sibuk, sehingga lelah sekali saat pulang. Di rumah, setelah mandi dan makan sedikit ia langsung tidur. Ia melirik meja kecil di sampingnya mau mengambil minuman...oh tadi sebelum tidur ia minum tiga perempatnya, kini sisa sedikit, ia meminumnya, masih merasa haus, ia diam sejenak menunggu samapai agak fokus, akhirnya ia turun, segelas air es...lalu tidur kembali pikirnya. Dibukanya pintu kamanya. Ia menuju kulkas dan menuang air es ke gelasnya, diminumnya perlahan...segar pikirnya. Setelah habis ia isi kembali untuk di kamarnya nanti. Ah...perutnya agak lapar, memang tadi cuma sekedarnya saja ia makan. Ia menuju meja makan, ya...nggak ada apa – apa. Akhirnya ia duduk sebentar di meja makan. Ditaruhnya gelasnya. Pandangannya menyapu ke sekitar, lho kenapa kamar si Ray tidak tertutup rapat. Dia pun segera berdiri, mau merapatkan kamar anaknya. Sekalian ia melihat ke dalam, mengecek apakah Ray sudah tidur atau belum...lho kok kosong. Renita mengingat sebentar, tadi waktu aku pulang, anak itu ada sedang menonton TV. Kalau jam segitu ia sudah di rumah, berarti ia tak keluar lagi...kemana anak itu sekarang ? Apa tadi sewaktu dia tidur, anak itu pergi keluar lagi...dasar keluyuran terus. Renita agak heran, segera menutup kamar Ray. Baru saja ia melangkah, mau mengambil gelas dan kembali ke kamarnya, telinganya menangkap suara erangan agak tertahan. Suara apa itu pikirnya, sepertinya dari kamar Dina. Curiga ia membatalkan mengambil gelas, perlahan menuju pintu kamar Dina. Ketika sudah agak dekat, telinganya menangkap suara – suara, meski pelan tapi terdengar, seperti suara tempat tidur yang agak berbunyi, lalu suara seperti....seperti...dia tentu saja sudah tahu arti suara seperti ini...suara desahan, suara orang yang berhubungan seks. Astaga...apakah Dina membawa pacarnya atau teman prianya. Tak bisa dibiarkan pikirnya kesal. Ia lalu agak berjongkok di depan pintu kamar Dina, matanya mulai mengintip lobang kunci yang tak memiliki anak kunci itu. Pertama matanya belum terbiasa dan fokus, lalu matanya mulai melihat pasangan yang sedang bersetubuh. Sang pria nampak sedang menindih tubuh perempuan di bawahnya, wajahnya tak terlihat, terhalang tubuhnya, sementara wanitanya jelas sekali itu Dina. Penasaran Renita terus mengintip, menyaksikan saat si pria menyodok m3mek Dina. Mata Renita terpaku pada bagian selangkangan kedua pasangan itu, walau tak terlalu detail, namun cukup jelas saat kont01 pria itu yang sepertinya agak besar sedang bergerak keluar masuk memompa m3mek Dina yang sementara itu mengangkat dan melebarkan kakinya. Makin lama melihat Renita mulai merasakan gairahnya terbakar, bahkan ia merasakan secara pasti m3meknya mulai basah. Tanpa sadar kini tangannya malah mulai mengelus dan membelai permukaan CD-nya, dari perlahan lalu semakin cepat. Jarinya mulai mengelus dan memainkan belahan m3meknya di balik CD-nya, lalu tangannya mulai menyusup ke balik CD-nya, gerakannya masih sama hanya mengelus dan membelai belahan m3meknya, yang mulai mekar dan basah. Sementara matanya terus mengintip, makin lama pasangan yang diintipnya semakin panas saja gerakannya. Renita pun makin bergairah, dengan cepat akhirnya CD itu pun sudah lepas, kini jarinya mulai membelai dan mengusap daerah sekitar lobang m3meknya, sementara tangan satunya mulai memegang dan meremas sendiri teteknya yang besar itu. Akhirnya jarinya mulai menyodok lobang m3meknya, ia memakai jari tengahnya menyodok – nyodok m3meknya. Jari dari tangan yang lain dipekerjakan untuk mengurus it1lnya. Nafasnya mulai memburu, agak menggigit bibirnya, menahan agar desahannya tak terdengar. Tak puas dengan hanya jari tengah, kinijari telunjuknya ikut bergabung, m3meknya kini ia sodok dengan memakai dua jari, baru ia merasa lebih kena dan lebih nyaman.

Sementara pasangan yang di dalam, yang masih asik itu juga makin seru dan panas. Setelah Dina mengalami orgasme, Dina segera kembali mengangkat kakinya dan melebarkannya, badannya bersandar samapi pojok ranjang, sementara Ray bertumpu dengan kedua tangannya, kembali terus menyodoknya dengan cepat. Inilah yang Dina suka dari Ray, kalau sudah menyodok nggak setengah – setengah, makin Dina terengah – engah, makin nafsu si Ray memompakan kont01nya, membuat Dina benar – benar kelojotan. Ray memainkan kont01nya secepat dan seakurat mungkin, menariknya samapai batasnya, kembali menerobos sampai dalam sekali, ditarik lagi, benar – benar membuat Dina kegelian dan keenakan, setiap kali menyodok masuk, maka kont01 itu menerobos bibir m3meknya, meninggalkan rasa geli dan nikmat yang sangat luar biasa...

”Aaaaahhh....sinnntiiiing loeee...Raayyyy...”
”Sssshhhh.....janggaaaaannn....ginnniiiiii....”
”Gueeee...nggaaaaakkk....taahhaaaaaannnnn......”

Ahhh...ampun deh belum lama gue keluar, sekarang sudah keluar lagi, benar – benar nih anak, pikir Dina. Dina pun bertekad membalas. Sembari menerima sodokan Ray, kakinya ia sempitkan, membuat kont01 Ray agak terjepit kuat, Dina mulai menggoyangkan pantatnya dengan liar, bibir Dina juga melumat habis bibir adiknya itu, menghisap dan menyedot lidah Ray, membuat Ray yang sekarang kelojotan. Sementara lidahnya disedot –sedot, kont01nya juga agak dicengkram, kini saat kakaknya menggoyangkan pantatnya dengan liar, rasanya kayak diaduk – aduk. Linu dan enak. Ray hanya bisa meremas tetek Dina kuat – kuat. Ketika goyangan pantat Dina melemah, Ray kembali bergerak, mulai memompa dengan kuat dan secepat mungkin, menyodok sampai dalam sekali, membuat Dina serasa sesak. Kini gantian Ray mulai menjilati leher dan telinga Dina, membuat Dina geli dan menggelepar. Ray bukannya berhenti, malah makin jahil menjilati leher kakaknya, setengah mati Dina berusaha menahan gelinya, sementara sodokan Ray juga semakin menjadi ditambah kini Dina yang kegelian itu badan dan pantatnya bergoyang kuat ke sana ke mari, kont01 Ray benar benar kayak dipilin saja. Kedua kakak beradik ini sama – sama saling memberikan rasa nikmat, dan Ray juga sudah merasa maksimal, sementara Dina juga merasakan bakal jebol lagi, akhirnya sambil saling berpelukan kuat...keduanya sama – sama memuntahkan kenikmatannya, lalu terkulai puas dan bahagia, saling berciuman hangat.

Sementara mata yang mengintip itu menyaksikan pergumulan pasangan yang di dalam. Gila si Dina...pikir Renita...yang lakinya juga sama,keduanya saling memuaskan, Renita jadi terengah melihat panasnya adegan yang berlangsung itu, jarinya makin cepat dan kuat menyodok lobang m3meknya, sementara jari tangan satunya asik memilin dan mengelus – elus it1lnya yang besar dan menonjol itu. Gelombang nyaman dan nikmat yang sangat memuaskan....m3meknya sudah sangat...sangat basah....nampak lantai agak lengket dengan cecerannya. Bahkan ketika tadi dia akhirnya bisa dengan fokus melihat besarnya kont01 saat lelaki menyodok naik turun di m3mek Dina., Renita merasakan gairahnya seperti meledak. Desahannya agak ia tahan, pantatnya sedikit terangkat, dan dia mengejang.....terasa semburan hangat membasahi kedua jarinya. Orgasme...barang langka yang selalu harus ia lakukan sendiri. Ia lalu terdiam...lemas. matanya masih mengintip, penasaran untuk melihat kegiatan Dina di dalam kamarnya, juga mau melihat siapa pasangannya.

Ray menyudahi ciumannya di bibir hangat kakaknya, agak meringis geli saat ia mencabut kont01nya, diam sejenak ia segera bergerak memutar tubuhnya, merebahkan diri di samping tubuh telanjang Dina. Selalu....setiap ngewek sama Dina energinya akan terkuras, karena Dina tak pernah membiarkan dirinya bergerak bebas, Dina selalu saja memberikan perlawanan yang alot.

Mata Renita kini semakin berkonsentrasi, sedari tadi memang ia tak bisa melihat siapa lelaki itu. Dina posisinya sangat mojok di kepala tempat tidur, kakinya terangkat mengapit pantat lelaki itu. Sementara lelaki itu menindihnya, seperti menelan tubuh Dina. Yang terlihat jelas adalah m3mek dan kont01 mereka yang saling memompa. Lelaki itu hanya terlihat pantat dan punggungnya, wajahnya terhalang. Suara desahan Dinapun agak samar, karena Dina sepertinya mendesah di dekat kuping lelaki itu. Kini lelaki itu baru mencabut kont01nya, dia diam sejenak, nah kini ia berbalik....

Renita yang lemas karena orgasmenya, kini merasakan tubuhnya semakin lemas....matanya yang sedang mengintip semakin terbelalak tak percaya...astaga...astaga....ia tak mampu berkata....tak mampu mengeluarkan suara, kepalanya mendadak sangat pusing. Tak tahu harus bereaksi bagaimana, dengan sangat lemas ia bangkit, tak memperdulikan lantai yang sedikit basah, bahkan saat ia berjalan ke kamarnya, CD-nya tak ia benarkan kembali, ia terlalu terkejut, lupa dengan gelasnya. Ia buka pintu kamarnya perlahan, menutupya pelan, dengan lunglai ia menuju tempat tidurnya, ia merebahan diri dengan sejuta pikiran berkecamuk.

Lelaki itu adalah Ray, anakku, adiknya Dina. Mereka...mereka...bahkan dalam pikirannya sekalipun ia tak sanggup mengatakan hal itu. Ya ampun....ada apa ini, bagaimana ini...? Mengapa..mengapa mereka...mereka berdua bisa....melakukan hal itu. Tak perlu menjadi seorang jenius untuk mengatakan bahwa mereka berdua melakukannya dengan saling menikmati. Saat mengintip tadi, Renita dengan jelas bahwa mereka berdua melakukannya dengan enjoy, tak ada perasaan terpaksa. Mereka kakak dan adik. Di bawah satu atap ini. Bagaimana...bagaimana mungkin ? Sudah berapa lama ? Kalau melihat adegan tadi, jelas ini bukan yang pertama kalinya. Bagaimana mungkin aku sebagai mama mereka bisa tak tahu. Apa yang kedua anak itu pikirkan...? dan yang lebih penting lagi, apa yang harus ia lakukan dan perbuat terhadap kedua buah hatinya ini...?

Renita benar – benar bingung, ia mendesah..menghembuskan nafasnya, matanya terpejam...lama ia memejamkan matanya, menenangkan diri. Dan dia...memang di satu sisi ia tadinya tak tahu siapa lelaki itu, tapi dia tahu dari awal wanitanya jelasa Dina, dan dia, Renita jelas – jelas terangsang saat mengintip tadi, jelas – jelas malah mengagumi dan juga berfantasi saat melihat betapa mengagumkannya kont01 lelaki tadi. Renita agak bergidik. Kali ini ia mulai teringat masalahnya sendiri. Dia sekarang di awal usia 39 tahun, lelaki tak bertanggung jawab itu Toni, namanya, suaminya atau tepatnya bekas suaminya....10 tahun lalu saat usianya bersiap memasuki usia 30 tahun, begitu saja pergi meninggalkan keluarganya, dia dan kedua anak mereka Dina dan Ray. Untuk kawin lagi. Renita sendiri akhirnya memilih mengurus perceraiannya sendiri. Baginya dan mungkin kedua anaknya, lelaki tak bertanggung jawab itu sudah tiada, sudah dianggap mati dan lebih baik dianggap sebagai sampah saja. Suatu keuntungan karena sedari awal perkawinan mereka, dia memilih tetap bekerja, sehingga walau ditinggal begitu saja dengan 2 anak yang masih boleh dibilang kecil, ia masih bisa mengurus dan membiayainya. Berat di awalnya, namun akhirnya mereka bertiga mampu melewatinya bersama. Sebagai janda denga 2 anak, dan umur yang masih memungkinkan, Renita tidak menutup diri, setelah 2 tahun menjanda dia mulai menjalin hubungan, beberapa kali. Beberapa berakhir dengan hubungan seks yang menyenangkan di beberapa kamar hotel, tapi tidak berakhir ke jenjang perkawinan. Ketika ia memasuki usia 34 tahunan, karirnya mulai stabil dan meningkat, seiring kesibukannya, ia juga tidak menjalin hubungan lagi dengan pria, tidak berpikir untuk menikah lagi. Awalnya kesibukannya di jenjang karirnya yang baru itu mampu menyibukkannya dan meredam hasrat dan gairah seksnya yang masih aktif. Tapi seiring ia terbiasa dengan jabatan dan kesibukannya,semuanya bisa terjadwal dan ia mulai busa rileks. Sekaligus menjadi masalah. Kelelahan yang tadinya mampu meredam hasratnya, kini mulai hilang. Hasrat dan gairahnya kembali dominant. Ia mulai sering bemartubasi sekedar memuaskan dahaganya. Lalu saat dia sedang mendapat tugas mengunjungi klien di slah satu kota besar, ia yang karena merasa malu, memakai topi dan kaca mata hitam memasuki sebuah toko yang biasa menjual obat dan alat bantu seks. Ia membeli vibrator. Ia sendiri merasa tak berani membelinya di Jakarta, selalu khawatir akan ada yang mengenali. Sedikit banyak kont01 mainan itu bisa membantu menurunkan gairahnya, tapi tetap di saat hasratnya muncul, ia merindukan sesuatu yang asli, yang nyata, yang bernyawa dan memiliki emosi dan meninggalkan kesan, bukan barang imitasi dari plastik dan baterai.

Dan tubuhnya secara jujur amat bergetar dan haus sekaligus terangsang saat melihat kont01 tadi menerobos dengan nikmatnya menyodok m3mek Dina tadi. Tak lepas matanya menatap dengan sangat dahaga melihat kont01 tadi. Seluruh tubuhnya bergelora dan menjerit ingin merasakan kembali kenikmatan kont01 asli. Renita kembali mendesah, menghembuskan nafasnya. Tapi ternyata lelaki pemilik kont01 itu ternyata anaknya sendiri, Ray. Ray dan Dina.....apa yang telah kalian lakukan...? Ia memejamkan matanya....tak sanggup lagi berpikir. Ia memilih sebaiknya ia tidur saja dulu saat ini, menenangkan pikirannya. Ia pun melemaskan tubuhnya, memejamkan mata, nampakair mata mengalir membasahi pipinya.....

Baru 2 jam kemudian Ray keluar dari kamar Dina. Saat di ambang pintu, kakinya sedikit menginjak sisa cairan yang sudah agak mengering namun masih sedikit lengket, ia tak menaruh curiga apapun. Tepatnya tak akan curiga apapun, terlalu lelah dan penuh rasa puas. Di meja bahkan ia juga tak berpikir lagi, saat ada gelas berisi air yag sudah tak dingin lagi, ia segera saja meminumnya. Ia lalu membuka pintu kamarnya, menutupnya lalu tidur, tanpa pernah menyadari, bahwa saat tadi ia keluar ia tak memperhatikan benar bahwa ia tak menutup pintu kamarnya dengan rapat.

Esoknya Renita bangun pagi sekali, kedua anaknya yang semalam ia pergoki telah saling mereguk kenikmatan masih terlelap di kamarnya masing – masing, terbuai rasa puas, tapa pernah menyadari bahwa mamanya telah mengetahui perbuatan mereka. Renita merasa letih dan tak berminat ke kantor. Nanti saja aku telepon. Ia lalu keluar kamarnya, mandi, setelah mandi mungkin aku akan merasa lebih baik dan segar, juga lebih jernih untuk berpikir. Setelah mandi, ia berpakaian, keluar rumah sebentar, membeli biskuit dan makanan kecil. Ia kembali, dan memulai sarapannya. Setelah selesai, ia masuk ke kamarnya. Sekitar jam 7 kurang ia mendengar suara kegiatan. Dia memasang telinganya, sepertinya Dina saat ia mendengar suara anaknya sedang berdehem. Dia diam saja. Sekitar jam delapan kurang suara pintu depan dibua lalu dikunci, Dina pergi kuliah. Ia pasti mengira aku sudah jalan kerja. Renita memencet tombol di HP-nya, menelepon kantor, mengabarkan ia tak masuk, sakit. Selesai ia mematikan HP. Renita kembali diam, tenang, dan berpikir. Memikirkan sesuatu yang sebenarnya ia dan tubuhnya sudah tahu jawabannya.....jiwanya mungkin saja masih ragu dan menolak, tapi tubuhnya sudah jelas tidak akan menolak.

Jam sembilan kurang Ray bangun. Seperti biasa merokok dahulu, iseng, ia bikin kopi. Lapar, ia bangun, kayaknya semalam matanya melihat ada makanan kecil dekat meja di kamar Dina. Mudah – mudahan si bawel itu belum memakan atau menghabiskannya. Ia segera menuju ke sana dan menemkan toples kecil yang berisi camilan, membawanya keluar, lalu memakannya sambil menikmati kopi dan rokoknya. Setelah selesai dan menaruh kembai toples tadi yang kini hanya toples saja tanpa isi, ia segera mandi, karena hatinya sedang senang, bolehlah sesekali bernyanyi walau suara agak serak – serak memukau hehehe. Tak berapa lama ia sudah selesai mandi dan berpakaian, mau pergi. Ray agak terkejut saat keluar kamar, mamanya sedang dudu di meja makan.

”Lho ma, kirain ke kantor, habis dari Ray bangun sepi banget...”
”Nggak, agak nggak enak badan...”
”Mau ke dokter ? Kalau mau dianterin, sini Ray antar.”
”Nggak usah. Ray coba sini, kamu jangan pergi dulu. Ada yang mama mau bicarakan. Penting. Mama tunggu di kamar mama.”
”Penting banget nggak ma. Kalau nggak Ray mau bikin mie dulu, sebentar saja, lapar.”
”Ya, sudah, nanti sesudahnya amu ke kamar mama.”

Mamanya segera bangun dari kursi, menuju kamarnya. Ray agak heran sambil berpikir ada apa lagi nih ? Kayaknya penting banget. Tapi berhubung lapar berat, ia segera konsentrasi menunggu mienya matang. Untuk kemudian memakannya dengan sangat rakus.

Renita nampak duduk di pinggir tempat tidurnya. Ia sudah mantap memutuskan. Kedua anaknya itu jelas salah dilihat dari sudut apapun. Ia seharusnya marah dan menegur. Tapi sesuatu ....bahasa tubuh mereka saat ia melihatnya, sedikit banyak telah menggambarkan bahwa keduanya saling menikmati dan jelas tak terpaksa dalam melakukannya. Renita tahu seharusnya ia marah atau menegur, tapi itu tak akan menyelesaikan masalah. Kalau yang namanya kont01 sudah rutin memasuki m3mek, dibilangin, diomelin seperti apapun juga percuma. Ia tahu pasti hal itu. Dilarangpun tak ada manfaat. Dia juga tak akan bisa mengontrol mereka 1 x 24 jam setiap harinya. Dia juga berkesimpulan, sampai point yang dilihatnya semalam, dia interogasi atau tanya alasan kenapa mereka melakukannya juga sudah tak ada arti. Tak akan mengembalikan atau merubah atau menghentikan mereka. Dan sebagai dua anak yang sudah berumur lumayan agak dewasa, Renita berkesimpulan keduanya juga pasti sudah tahu resikonya dan telah paham untuk melakukannya dengan memakai pencegahan. Bagi Renita, tak ada pembenaran ataupun menyalahkan. Sudah terjadi, tak ada yang bisa disalahkan. Pantas atau tidak, bukanlah tajuk utamanya dalam hal ini. Mereka berdua merasa pantas dan melakukannya dengan tanpa keterpaksaan. Kalaupun mau menilik kerugian, termasuk kepada dirinya...sebenarnya kerugian apa yang mereka timbulkan...? Hanya statusnya saja sebagai merek, tapi dengan alasan yang tadi ia pikirkan dan ungkapkan di atas, semuanya akan kembali menjadi argumentasi pembenaran masing – masing pihak. Untuk hal ini keputusannya sudah bulat, sudah sangat terlambat untuk menanyakan, menegur dan melarang. Kalau sudah saling merasakan nikmat, apa bisa dilarang lagi ? jujurnya....tidak.

Lagipula saat melihat kont01 anaknya, jujur saja, tubuhnya yang lama sekali tak dimasuki benar – benar menjerit mendambakan agar m3meknya kembali merasakan nikmatnya dimasuki kont01 pria...kont01 asli. Hasrat dan jiwanya seperti diaduk – aduk dan terangkat sampai pada puncaknya yang tertinggi. Kont01 anaknya itu jelas melebihi standart SNI...hehehe bisa saja Renita ini, memangnya ada standart SNI nya buat masalah ini...dasar.

Kalau berlaku untuk Dina, maka juga untuk Ray. Pagi ini ia tak akan sekalipun menyinggung atau menanyakan tentang apa yang dilihatnya semalam. Juga tak mau membuat Ray grogi atau salah tingkah bila ditanya. Ada hal yang jauh lebih penting untuk dibicarakan dan diurus. Gagang pintu nampak bergerk...biasa, khas si Ray, suka nyelonong tanpa mengetuk pintu. Ray masuk sambil nyengir. Tanpa disuruh duduk santai di pinggir tempat tidur, dekat mamanya. Ray duduk melihat mamanya sekilas, walau hanya berdaster biasa, tetap saja seksi, apalagi setelah Ray sudah sering mengintip mamanya mandi. Menetralkan hati dan pikiran Ray memulai percakapan...

”Mau ngomong apaan sih ma, kayaknya penting sekali...”
”Sudah, kamu diam saja dengarkan, nggak usah nanya dulu, dengar saja.”
”Ya sudah...ngomong deh, Ray dengarkan....”
”Nah kamu tahu kan sidah hampir 10 tahu mama cerai sama eh.....papamu”
”Ya...kalau mau ngomongin lelaki tak bertanggung jawab itu, mending nggak usah deh, Ray malas.”

Ray mulai BeTe, paling malas kalau topiknya tentang papanya yang tolol. Renita nggak berkomentar, kebali meneruskan omongannya.

”Nah, setelah bercerai, mama tetap bekerja dan membiayai kalian. Setelah 2 atau 3 tahun, setelah mama mulai bisa menata hati mama embali, mama mulai membuka diri, menjalin hubungan kembali, sambil berharap mungkin saja bisa membentuk rumah tangga yang baru. Dan mama terus terang saja ke kamu, namanya mama yang sudah dewasa dan punya 2 anak tentunya dalam menjalin hubungan, pacarannya beda sama anak remaja. Jujurnya beberapa di antaranya berakhir dengan hubungan ehh...seks.”
”Sebenarnya sih Ray risih mendengarnya ma, dan juga sebenarnya mama nggak perlu terus terang, itu hak mama sepenuhnya. Dilarang pun, Ray ngak bakalan tahu kalau mama melakukannya. Tapi secara garis besarnya sih terserah mama, itu hak mama kok.”
”Ya...terimakasih kalau sudut pandangmu seperti itu. Nah singkatnya, beberapa hubungan yang mama jalin akhirnya kandas. Mama jadi mulai malas menjalin hubungan dan selain itu mulai sibuk sama kerja dan karir, akhirnya malah tak berusaha menjalin hubungan lagi atau berpikiran untuk menikah lagi...sampai sekarang.”
”Maksud dan arah omongan mama apa sih ? Mama mau bilang kalau sekarang akhirnya punya pacar dan mau ngenalin atau malah mau kawin ? Terserah sih, tapi Ray lihat dulu orangnya...”
”Bukan..bukan ke situ arahnya.”

Renita menatap anaknya sejenak, raut wajahnya menggambarkan ia sedang berpikir menimbang sesuatu sebelum mengucapkan...

”Nah, jadi kalau dihitung hampir 6 atau 7 tahun mama benar – benar sendiri. Di usia mama ini, hal itu sangat – sangat tidak mudah dan menyiksa...”
”Oh..maksud mama, mama mau ngomongin agar Ray bantu mama. Kerja juga...begitu ya ma ?”
”Bukan...suah kamu dengar dulu, nanti kamu baru ngomong kalau mama sudah kelar atau kalau mama tanya.”
”ya sudah kalau begitu.”

Jadi agak sebal Renita, habis anaknya ini komentar melulu, salah pula. Ia mengambil nafas sejenak, lalu kembali berbicara.

”Maksud mama dalam hal...eh...a..anu itu...seks. Seumuran mama gini yang namanya seks jelas masih aktif. Bahkan gairah dan hasrat atau eh...libido yang ada boleh dikata makin menjadi – jadi. Kamu nggak usah komentar, tapi mama bilang ke kamu, mama mencoba mengatasinya dngan bekerja keras, tapi tak terlalu ada efeknya. Akhirnya bermartubasi...eng pakai jari, juga...ehm...alat bantu....ya kamu nggak usah melongo gitu...ini hal yang wajar bagi wanita seperti mama yang diserang libido yang datang dan meningkat. Kalau nggak disalurkan atau sedikitnya diredam...wah bisa stress dan gila. Dan memang itu hanya bisa meredakan sedikit, bukan memuaskan secara tuntas. Nah sekarang kamu boleh komentar.”
”Duh...gimana ya, Ray nggak nyaman dengarnya, seharusnya mama kalau curhat kayak gini sama teman perempuan mama saja atau sama tante Retno.”

Mama hanya nyengir mendengar jawaban Ray yanga agak kikuk itu. Lalu mulai kembali berbicara yang sedikit banyaknya akan mulai jantung Ray berdetak jauh....jauh lebih cepat dari detakan yang seharusnya....

”Betul sih...tapi paling mereka hanya bisa membantu saran atau pendapat. Beda sama kamu, kalau kamu selain saran juga bisa membantu, jauh lebih baik dari mereka...”
”Maksudnya apaan sih ma...Memangnya Ray bisa ngasih saran lebih baik dari mereka ?”
”Bukan mereka bisa saran...tapi beda sama kamu...kamu bisa membantu mama dengan eh...kont01mu.”
”HAH...APAAN MA ?”

Ray merasa kupingnya salah dengar Apa benar mamanya barusan bilang membantu dengan kont01mu. Dia memandang mamanya....bingung, heran, kaget, juga berharap ia tak salah dengar.”

”Ya...kamu dengar kan, dengan kont01mu. Kamu jangan berpikir mama gimana gitu. Sederhana saja, mama mempunyai masalah. Tak ada penyaluran yang benar untuk masalah libido mama. Mama juga tak bisa atau tak mungkin sembarangan nyaripria buat eh ngewek sama mama, NO WAY. Awalnya mama ragu, tapi satu – satunya solusi di mana mama bisa memuaskan hasrat mama yang tak tersalurkan, juga prianya mama kenal dan akan nyaman, ya cuma kamu. Itu juga mungkin lho...kalau...kalau kamu eh...nggak sungkan atau keberatan...”
”Duh ma, kok jadi gini sih,,,,jelaslah Ray sungkan...nggak mungkinlah, apa kata dunia...ini mama lho...mama Ray, mana mungkin.”

Renita menatap wajah Ray, sesaat saja, lalu mati – matian ia menjaga suara dan mimik wajahya agar tak tertawa. Bukan kenapa, saat dia melihat wajah anaknya, kelihatan banget kalau si Ray Cuma belagak Jaim, sok alim dan sok bersih.

”Ya...sudah, mungkin mama salah ngebahas hal ini sama kamu. Karena kamu juga sungkan, tak apa. Harap kamu simpan omongan ini ya. Ya sudah, kalau kamu ma pergi, silahkan. Oh ya kunci pintunya, mama mau tidur.”

Ray jelas BeTe, maksudnya mau ngerendahin diri ninggiin image, jelas salah total, malah sekarang mamanya sudah menutup peluang sangat – sangat emas ini. Yang jelas akan sulit terulang lagi tawaran semenarik ini. Ia segera berkata....

”Eng...ma, setelah Ray pikir – pikir, memang berat penderitaan mama menahan hasrat, rasanya pasti seperti mau bikin gila saja, jadi Ray pikir – pikir....mungkin Ray bisa membantu....”
”Hahahaha...memang banyak gaya kamu Ray, sini....”

Ray mendekat, masih ragu dan sulit mempercayai semua ini. Renita memeluk anaknya, mendekapnya erat di dadanya, sesekali ia mengelus rambutnya...

”Bantu mama ya Ray, sudah terlalu lama mama nggak merasakan....jangan sungkan, mama yang memintamu, lakukan semaumu. Sepuasmu....kamu juga nggak usah memikirkan apapun, semuanya sudah mama pikirkan, segala macam resiko atau segala halnya tak akan menjadi masalah. Cuma kita berdua yang menjalaninya, tak akan ada yang tahu....”
”I...iya ma...iya.”
”Kalau nanti kamu selesai dan mau keluar, keluarin saja sepuasmu di dalam, tak akan ada masalah.”

Ray masih menyenderkan kepalanya di dada mamanya. Merasakan nyaman dan besarnya tetek mamanya yang sangat ia bayangkan belakangan ini setelah mulai rajin mengintip. Paham Ray masih ragu, Renita segera memulai inisiatif. Dia melepaskan pelukannya. Dia berdiri, mulai menanggalkan dasternya. Ray hanya diam, mulutnya sampai menganga saking terpesonanya dia melihat tubuh telanjang mamanya dalam jarak sangat dekat. Hanya menyisakan CD putih saja. Sangat indah, tetek besarnya menggantung dengan sangat mempesona., perutnya juga rata, tebalnya CD mamanya...Ray meneguk ludahnya. Dalam diamnya, otaknya bahkan berani bilang kalau tubuh mamanya jaug lebih merangsang dari tubuh Dina maupun Eva. Ada pesona tersendiri, pesona wanita dewasa yang sudah sangat matang....sangat menggairahkan. Kont01nya sangat – sangat keras sekali ia rasakan. Mamanya kembali berucap.

”Kamu siap....ayo...”

Ray segera berdiri, membuka bajunya, menurunkan celananya, sama seperti mamanya, ia hanya menyisakan kolornya saja. Perlahan ia mendekat ke mamanya, mendudukan mamanya di tempat tidur, tangannya dengan sangat gemetar mulai menyenuh tetek yang besar itu, mulai meresapi nyamannya, kenyal dan kencang. Perlahan mulailah ia meremasnya lembut, merasakan pentilnya yang perlahan membesar dan mengeras di telapak tangannya, memainkan pentilnya dengan sangat gema, pentil mamanya sangat besar melebihi besarnya pentil Dina, dengan gemas ia mendekatkan mulutnya, mulai menjilati dan mengulumnya perlahan, merasakan betapa besar dan enaknya pentil itu bermain dan bergerak di mulutnya. Mamanya mulai agak mendesah perlahan, merasakan tubuhnya seperti tersengat gairah yang besar. Keberanian Ray makin tinggi, satu tangannya segera mengarah ke CD putih mamanya, mulai mengelus dan meraba CD tebal itu. Terasa nyaman,, juga terasa tebalnya jembut di balik CD itu. Ia mulai menggosok – gosok mengelus permukaan CD itu.

Renita mulai merasakan gairahnya terbakar, tangannya segera menjulur meremas – remas tonjolan besar di balik kolor anaknya itu, meremas dan memainkannya. Ketika Ray mulai menyentuh CD-nya, tubuhnya bergetar, tangannya dengan tak sabar menyusup ke balik kolor Ray, menggenggam dan merasakan benda besar tersebut....tubuhnya seperti disiram dengan air yang segar...sudah lama ia tak menrasakan menggenggam kont01 pria...apalagi yang sebesar ini. Ray merasakan kont01nya digenggam tangan halus mamanya, namun ia belum merasa puas bermain dan merasakan nyamannya tetek besar milik mamanya ini

Ray segera berhenti sebentar, menidurkan mamanya dengan posisi tubuh miring, ia pun segera berbaring dengan posisi serupa, hanya terbalik, kepalanya kini berada tepat di atas selangkangan mamanya, mulutnya mulai menciumi CD mamanya, terasa harum, Renita juga kini berhadapan dengan selangkangan anaknya itu, melakukan hal yang sama dengan Ray, dan nyaris bbersamaan, keduanya dengan cepat telah melucuti CD pasangannya. Kini Ray diam sejenak, memandang terpesona, m3mek mamanya sangat menggoda dengan hiasan jembut lebat sekali dan hitam, sampai ke belahan pantatnya. Menutupi sedikit belahan m3meknya yang agak panjang. Dengan sangat pelahan mulutnya mulai menciumi dan menjilati rimbunan jembut yang menghiasi m3mek tersebut, sampai sedikit basah, lalu mulutnya segera menelusuri ke atas dan ke bawah belahan m3mek mamanya, yang masih rapat, karena geli dan nyaman dibelai dengan mulutnya, belahan m3mek itu perlahan mekar dan juga mulai basah. Dalamnya sangat merangsang Ray, Ray sampai merasakan kont01nya berdenyut menyaksikan lobang m3mek mamanya yang kemerahan. Bibirnya mulai menyapu dan menjilati permukaannya, menjilatinya dengan rakus, sesekali ia menusukkan lidahnya. Tak lama perhatiannya terarah ke it1l mamanya yang agak besar dan menonjol, segera saja lidahnya beraksi, menggoyangkan dan memainkan it1l tersebut, membuat mamanya semakin bergairah, tubuhnya mulai bergerak keenakkan.

Sementara itu Renita segera saja terdiam sesaat, matanya memandang dengan penuh gairah kont01 yang besar itu, yang kin berada tepat di depan wajahnya. Tangannya mulai mengelus dan meremas biji peler anaknya, mengurutnya lembut dan penuh erotisme, membuat Ray agak mengangkat pantatnya. Perlahan tangannya mengelus kepala kont01 Ray, memainkannya,sesekali tangannya juga mengocok lembut kont01 Ray. Setelah puas menggenggam dan memainkannya sebentar, Renita mulai membimbing kont01 itu, diarahkannya ke mulutnya, lidahnya menjulur keluar, mulai menari – nari menjilati kepala kont01 tadi, lalu turun menjilati batangnya. Dahagany yang sangat tinggi membuatnya mulai menjilati kont01 itu dengan ganas, menelusuri dan membelai semua titik kenikmatan pada batang kont01 itu, membuat Ray agak mendesah di tengah kesibukannya menjilati it1lnya. Akhirnya mulutnya mulai menelan kont01 itu, sampai maksimal, mengocoknya pelan, mengemut dan menghisapnya dengan lembut sesekali juga dengan kuat, tangannya asik memainkan dan memijit biji peler anaknya. Hisapannya makin kuat ketika ia merasakan it1lnya yang kegelian enak saat dijilati Ray. Kont01 Ray pun tanpa ampun, ia hiap dan jilati dengan cepat, mengulumnya dengan cepat pula, sementara ia renggangkan kakinya selebar mungkin. Lama – lama Renita merasakan kenikmatan yang didapati di selangkangannya sangat tinggi, ia mulai sering mendesah, melupakan hisapannya pada kont01 Ray, bahkan akhirnya ia hanya berbaring pasrah, menikmati dnmeresapi permainan lidah anaknya....

Ray kini tak hanya menjilati it1l tersebut, ketika dilihatnya lobang m3mek yang kemerhan dan sangat menggoda itu, jari tengahnya segera beraksi menyodoknya. Menyodokkan dan memompakan jari tengahnya secepat mungkin, lidahnya juga makin cepat menjilati it1l mamanya yang sudah membesar dan mengeras, pas dan nyaman di lidah. Kaki Renitapun makin melebar saja.

”Ooohhh.......Terrrusssss....Yangggg....”
”Aaahhhh.....gillaaaa........enaaaaaakkkkk.....”
”Sssshhh.......Awwww......Awwwww......”

Pantatnya terangkat, tubuhnya bergetar sesaat, akhirnya memuntahkan kenikmatan yang sangat terasa mengalir pada tubuhnya. Permainan lidah anaknya telah memberikan kenikmatan yang besar pada dirinya. Renita terkulai lemas, sementara Ray yang menyadari mamanya baru saja orgasme, segera menghentikan kegiatannya.

Ia mulai bersiap, mulai menindih tunuh telanjang mamanya, mamanya juga sudah bersiap dengan mengangkangkan kakinya, m3meknya sudah basah sekali, Ray bersiap...siap...meleset....lagi...dan blessss...kont01nya perlahan menerobos dinding – dinding m3mek mamanya. Terasa masih sempit dan hangat juga nyaman.Ray membenamkan kont01nya, diam merasakan sensasi pertama kali ini. Renita sendiri merasakan m3meknya seperti dicabik, bukan dalam art sakit, tetapi dalam arti nikmat saat kont01 anaknya menerobos dan menydok masuk. Tubuhnya sampai bergetar. Ray mulai bergerak, memompa perlahan, merasakan kenikmatan m3mek tersebut, nyaman sekali. Lama – lama sodokannya makin cepat. Renita mendesah, sangat – sangat merasakan kenikmatan...kalau m3meknya ibarat sawah, maka sawah yang sangat kering dan lama tak dipakai....kini pintu irigasinya dibuka dan mulai mengairi. Kont01 Ray yang sedang bergerak memompanya seakan – akan menggedor seluruh gairahnya, menariknya sampai batas maksimal. Mulutnya mulai mendesah, teteknya yang besar bergoyang, tangannya terangkat ke atas, matanya merem melek menikmati setiap hentakan dan sodokan yang ia rasakan.

Ray sambil tetap menyodok, memperhatikan saat tetek besar itu bergoyang, memperhatikan wajah mamanya yang mendesah sangat erotis, ketika mamanya mengangkat lengannya, nampak rimbunan lebat pada keteknya, nafsu Ray semakin menjadi, tangannya segera mengelus dan memainkan bulu ketek tersebut, kini mulutnya asik menciumi ketek lebat mamanya...aomanya sangat harum dan memberikan sensasi dan rangsangan sensual tersendiri, lidahnya asik menjilatinya, sodokannya makin kuat saja. Puas dengan ketek mamanya, mulutnya segera mebghisap pentil mamanya sekuat mungkin, membuat Renita mengerang makin terangsang...dan tanpa bisa dia cegah kembali mengalami orgasme. Ali ini jauh lebih dashyat, karena dialami saat menerima sodokan kont01 anaknya, bukan saat dijilati dngan lidah. Renita terkulai lemas, namun merasakan kenikmatan yang besar makin menjalar di tubuhnya. Ray yang tahu hal itu makin mempercepat saja sodokannya.

Ray merasakan kont01nya sangat nyaman, seakan dijepit erat dan dibelai lembut. Sungguh saat ini ia tak terlalu memikirkan untuk berganti posisi, terlalu menikmati moment yang sangat tak terduga ini. Kembali mulutnya bergerak, kali ini mencari bibir mamanya, bibir mereka bertautan, saling memainkan lidh masing – masing, tangan Ray meremas kuat – kuat tetek mamanya, pantatnya makin cepat brgerak, memompa kont01nya sedalam munkin, dia tak melepaskan ciumannya, terlalu enak....sodokannya makin liar, sulit baginya mengontrol birahinya saat pertama kali ini Ia masih sangat terangsang dengan kemolekan tunuh seksi mamanya. Pompaannya makin cepat menyodok setiap bagian dalam lobang m3mek mamanya, kaki mamanya sudah amat mengangkang....akgirnya ia merasakan siap mencapai klimaks, maka sambil tetap berciuman, ia memeluk erat tubuh mamanya, menghujamkan sedalam mungkin kont01nya....crooot...crooot...pejunya muncrat tanpa tertahan, menghanta kuat lobang m3mek mamanya.. Mamanya nampak bergetar merasakan sensasi yang sudah lama tak ia rasakan. Keduanya diam masih asik berciuman, akhirnya Ray mencabut kont01nya, berbaring lemas....ternyata hampir tak ada bedanya sama Dina, sama –sama menguras energi. Mamanya masih diam, menikmati seluruh sensasi yang lama ia dambakan. Nampak peju Ray mengalir keluar dari lobang m3meknya.....tak lama mamanya mulai berbicara...

”Duh...agak terpuaskan gairah mama...”
”Agak...?”
”Iya dong....kalau baru sekali mana berasa sih....masih baru permukaannya saja dong.”
”hahaha...terserah mama saja deh.”
”Tapi ingat ya...setelah ini, pasti hal ini akan berlanjut, mama hanya berharap kamu menjaga rahasia ini, jangan sampai orang lain tahu, apalagi kakakmu, mengerti...?”
”I...iya ma.”
”Nah, sudah belum istirahatnya....sungguh mama merasa keputusan yang mama ambil sudah tepat. Daripada mama mencari kepuasan dengan lelaki yang asing, mendingan sama kamu saja. Kamu juga suka kan...? Ray...ayo kita mulai lagi....”

Dan sepanjang hari itu Renita benar – benar menyalurkan semua hasrat dan gairahnya yang terpendam. Membebaskan semuanya, menyiramnya dan mengairinya dengan hantaman kenikmatan. Ray, anaknya sangat memuaskannya, sangat mampu menghapus dahaganya. Tak heran kalau Dina nampak sangat menikmati bermain dengan Ray, saat ia mengintipnya semalam.

Dan Ray sendiri, dengan amat senang hati dan tak keberatan membatalkan acaranya pergi. Ini jauh lebih penting. Dia tak terlalu memusingkan alasan mamanya atau segala macam tetek bengek lainnya. Dia memang mendambakan dan terpesona sama tubuh seksi mamanya. Kini..., bukan hanya melihat, ia bahkan bisa melakukan apapun semaunya dia....tak pernah terbayangkan.

Hari itu Ray telah melangkah dan mendobrak, melewati semua dinding batas yang terakhir. Juga Dina dan mamanya. Dinding hubungan yang telah dilanggar. Dalam kehidupan nyata di depan orang lain, maka semua akan nampak normal, namun saat terlindung di balik dinding kamar, maka batas itu menjadi tak ada. Ya...semuanya seperti antara ada dan tiada......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar